Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan posisi nilai tukar rupiah mengalami depresiasi atau pelemahan dengan tiga mata uang negara lain, yakni dolar Amerika Serikat (AS), dolar Australia (AUD), dan Yen Jepang di pekan kedua Februari 2017. Sementara terhadap Euro, mata uang Garuda ini terapresiasi atau menguat.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, nilai tukar rupiah berada pada level Rp 13.314 per dolar AS di pekan kedua Februari 2017. Sementara di minggu keempat Januari 2017, rupiah 13.313,11 per dolar AS. Membandingkan periode kedua Februari dan minggu keempat Januari, rupiah melemah atas dolar AS sebanyak 0,01 persen atau 0,89 poin.
Advertisement
Baca Juga
"Sedangkan terhadap dolar Australia, rupiah melemah cukup dalam 0,99 persen atau 99,46 ‎poin ke level Rp 10.132,53 di pekan kedua Februari 2017. Kurs rupiah juga merosot terhadap Yen ke level 117,98 atau melemah sebanyak 0,97 persen atau 1,13 poin," kata Suhariyanto di kantornya, Jakarta, Kamis (16/2/2017).
Di minggu kedua bulan ini, diakui Suhariyanto, rupiah hanya menang atas Euro Jepang dengan apresiasi 0,34 persen atau 48,89 poin ke level Rp 14.229,89. Sementara di Januari 2017, tepatnya minggu keempat, rupiah di level 14.278,78 per Euro.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo menerangkan, nilai tukar rupiah kalah dengan dolar AS di pekan kedua Februari 2017 terhadap minggu keempat Januari ini, karena faktor kebijakan Presiden AS, Donald J. Trump.
"Kalau dengan dolar AS, karena faktor Donald Trump tetap ada sehingga dolar AS menguat. Terhadap Yen, rupiah kalah karena ekonomi Jepang menguat, tentu memperkuat Yen terhadap seluruh mata yang dunia. Sedangkan rupiah dengan dolar Australia, karena masalahnya kita defisit terus dengan Australia, jadi dia punya daya tawar lebih tinggi," terangnya.
Sementara penguatan kurs rupiah terhadap Euro, kata Sasmito lebih didominasi karena masalah Brexit. Persoalan Brexit memicu pelemahan Euro terhadap rupiah. "Tapi ada risiko apresiasi kurs rupiah ke depan yang harus diantisipasi ke depan. Karena kalau terlalu tinggi, tidak bagus juga karena akan mengganggu ekspor," tandas dia. (Fik/Gdn)