Liputan6.com, Jakarta - Tuna bagi Indonesia sangat penting karena merupakan komoditas perikanan unggulan nasional. Penangkapan tuna di seluruh perairan Indonesia disebut-sebut sudah berlebihan (overfishing), sehingga produksi ikan tuna akan berkurang signifikan dan terancam punah.
Berdasarkan data Kelautan dan Perikanan di 2015, nilai ekspor tuna mendekati US$ 500 juta atau sekitar Rp 6,7 triliun. Selain menjadi penghasilan bagi jutaan nelayan, tuna dan produk perikanan lainnya menyumbang 54 persen protein hewani bagi rumah tangga Indonesia.
Data yang dikeluarkan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) menunjukkan, sejak 2010 sampai 2014 tuna di hampir seluruh wilayah perairan Indonesia sudah ditangkap secara berlebihan (overfishing). Jika penangkapan tak dibatasi, stok tuna dalam 3-10 tahun, khususnya jenis yellowfin (sirip kuning) dan cakalang, akan berkurang drastis dan terancam punah.
Advertisement
Kajian University California, Santa Barbara dan Balitbang Kelautan dan Perikanan menyimpulkan, bila eksploitasi berlebihan dibiarkan, tak hanya terhadap tuna, biomassa ikan di perairan nusantara akan anjlok hingga 81 persen pada 2035.
Juru Kampanye Greenpeace, Arifsyah Nasution, menyoroti 3 hal yang menjadi penyebab ancaman tuna Indonesia. Pertama, pengelolaan rumpon yang tidak baik karena tidak didukung data, tidak ada penempatan legal. Kedua masih terjadinya tuna laundering, yaitu penggunaan tangkapan tuna ilegal di sejumlah perusahaan pengalengan ikan.
Baca Juga
Ketiga, yang sangat penting menurut Arifsyah adalah kebijakan tata kelola kelautan yang belum solid. Ia mengatakan, tata kelola yang solid harus dimulai dengan pembenahan regulasi, terutama revisi Undang-Undang (UU) Perikanan.
"Kita bisa mengalami kemunduran bila tidak ada payung hukum yang lebih kuat. Siapapun yang jadi Menteri Kelautan dan Perikanan ke depan, harus segera revisi UU tersebut," ujar Arifsyah saat Diskusi Publik di Jakarta, Jumat (17/2/2017).
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia, Hendra Sugandhi menjelaskan, dari data IOTC, Indonesia dengan armada 157 unit kapal atau sebesar 3,18 persen dengan produksi 11.153 gross ton. Dengan kata lain 71,04 gross ton per kapal.
"Miris sekali kalah sama China yang begitu agresif. Di Pasifik contohnya, dari lebih 300 kapal Indonesia, hilang tinggal 11. Itu karena moratorium izin kapal asing, pembatasan kapal oleh KKP yang ukurannya tidak boleh lebih dari 150 GT. Jadi ini harus dievaluasi lagi," jelas dia.
Hendra menyampaikan data Organisasi Pangan Dunia (FAO) dalam kurun waktu dua tahun (2014-November 2016), nilai ekspor ikan dari Indonesia ke berbagai negara menurun. Pada 2014, nilai ekspornya US$ 4,64 miliar, lalu turun menjadi US$ 3,95 miliar, dan terus merosot menjadi US$ 3,78 miliar pada Januari-November 2016.
"Jadi sejak 2014-November 2016, kita kehilangan nilai ekspor US$ 859,61 juta atau sekitar Rp 11,44 triliun. Cukup besar lho. Sedangkan total kehilangan nilai ekspor tuna selama periode yang sama di AS dan Jepang sebesar Rp 82,77 miliar saja," ujar Hendra.
Sementara itu, Peneliti KKP/National Coordinator on Tuna Scientific Team di WCPFC dan IOTC, Fayakun Satria menambahkan stok ikan tuna yang masuk lampu merah berdasarkan data IOTC adalah tuna sirip kuning sebanyak 407.575 (C) dan 406.000 (M).
Masuk kategori lampu kuning atau hati-hati Southern Bluefin Tuna sebanyak 33.000 (M) dan 11.726 (C). Sedangkan yang masih aman stoknya jenis Bigeye Tuna sebanyak 92.736 (C) dan 104.000 (M), Skipjack Tuna sebanyak 393.954 (C) dan 684.000 (M), dan Albacore 35.068 (C) dan 38.000 (M).
"Tuna saat ini belum terancam punah namun pengelolaannya harus dilakukan dengan prinsip precautionary approach, secara bersama (Skala Regional) melibatkan pemerintah, Pemda, industri, assosiasi, NGOs, dan nelayan, praktisi, pengusaha, politisi dan ilmuwan," ujar Fayakun.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, M. Zulficar Mochtar mengatakan, pembenahan pengelolaan sumber daya laut untuk kesejahteraan nelayan Indonesia yang merupakan prioritas KKP. Langkah utama yang ditempuh oleh KKP adalah memastikan tidak ada pencurian ikan oleh kapal asing, sehingga nelayan lokal dapat melaut dan menangkap ikan.
Di sisi lain, Zulficar bilang, pencurian dan penangkapan ikan dengan alat tangkap yang tidak ramah likngkungan merupakan tantangan dari meningkatnya permintaan ikan secara global. "Kebutuhan ikan naik, dan kompetisi menangkap ikan kian tinggi. Jika tak dikelola dengan baik, saya setuju tuna kita terancam," ujar Zulficar.