Sukses

Inflasi Jadi Kendala Pertumbuhan Ekonomi pada Kuartal I 2017

Pertumbuhan ekonomi diperkirakan 4,9 persen-5 persen pada kuartal I 2017 lantaran perlambatan konsumsi rumah tangga.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi dari Economic Action Indonesia (EconAct), Ronny P Sasmita memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2017 sekitar 4,9 persen-5 persen (year on year/Yoy).

Penyebabnya, karena perlambatan konsumsi rumah tangga akibat pengaruh inflasi dari kenaikan harga barang-barang yang diatur pemerintah (administered price).

"Pertumbuhan ekonomi belum akan terlalu baik di kuartal I-2017. Saya prediksi belum bisa di atas 5 persen, yakni sekitar 4,9 persen-5 persen (Yoy)," kata Ronny di Jakarta, Minggu (19/2/2017).

Staf Ahli Ekonomi Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi di kuartal I tahun ini tertahan akibat perlambatan konsumsi rumah tangga karena faktor inflasi. Inflasi diperkirakan menguat akibat kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah.

Lanjut Ronny, sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2016 yang mencapai sebesar 5,01 persen (Yoy), lebih disebabkan kenaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), kenaikan upah minimum provinsi (UMP), serta pemberian bantuan sosial.

"Tapi tahun ini, kondisi itu tidak akan terulang lagi sehingga daya beli masyarakat perlu diperhatikan agar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen dalam APBN 2017 tercapai," jelas dia.

Apalagi, sambung dia, ada tekanan kenaikan tarif listrik bagi pelanggan 900 volt ampere (VA) sampai dua kali lipat karena pencabutan subsidi.

Untungnya, Ronny mengatakan, kenaikan harga minyak dan gas serta komoditas lain cukup memiliki pengaruh positif terhadap kinerja ekspor dan daya beli kelompok masyarakat yang pendapatannya tergantung ke sektor tersebut.

"Jadi kenaikan harga energi juga bisa memberikan dorongan untuk membaiknya kondisi investasi. Tapi untuk keseluruhan di 2017, saya cukup optimis dan memperkirakan bisa mencapai target APBN sebesar 5,1 persen," Ronny menerangkan.

Dalam laporan PT Bahana Sekuritas,kenaikan harga membayangi sejak awal tahun 2017 di tengah pemulihan ekonomi yang masih berlanjut.

Setelah Januari, pemerintah menaikkan tarif untuk biaya perpanjangan STNK dan listrik berakibat naiknya risiko tekanan harga-harga yang diatur oleh pemerintah. Belum lagi faktor cuaca buruk yang bisa menjadi ancaman gagal panen untuk beberapa bahan pokok.

Kenaikan harga sudah tercermin pada inflasi Januari yang tercatat sebesar 0,97 persen secara bulanan atau 3,49 persen secara tahunan. Melihat risiko kenaikan harga, Bahana Sekuritas merevisi naik perkiraan inflasi hingga akhir 2017 menjadi 4,4 persen dari prediksi sebelumnya sekitar 3,8 persen.

"Inflasi pada Februari dan Maret memang kemungkinan akan lebih rendah dibanding Januari, namun karena curah hujan masih tinggi, ada kemungkinan panen beberapa bahan pokok terganggu, jadi kedepan masih ada tekanan harga," kata Ekonom Bahana Sekuritas Fakhrul Fulvian.

"Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan sudah tepat dengan melihat perkembangan inflasi dan kestabilan keuangan global," tambah Fakhrul.

Bank Indonesia pun memutuskan BI 7-day repo rate tetap sebesar 4,75 persen untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Level tingkat suku bunga ini dinilai masih cukup kondusif untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi yang sedang berjalan saat ini.

Rapat dewan gubernur juga terlihat semakin optimis dengan pemulihan ekonomi yang terjadi secara global terutama didukung oleh AS dan Tiongkok, diikuti dengan peningkatan harga komoditas global yang masih akan berlanjut.

Pemulihan ekonomi global ini tentunya memberi dampak positif terhadap ekonomi domestik yang diperkirakan akan tumbuh sekitar 5 persen - 5,4 persen sepanjang tahun ini, terutama ditopang oleh masih kuatnya konsumsi swasta dan meningkatnya konsumsi pemerintah serta perbaikan investasi.

Sedangkan kontribusi ekspor yang membaik akan diiringi dengan kenaikan impor karena meningkatkan konsumsi masyarakat. Fakhrul sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,3 persen pada 2017.