Liputan6.com, Jakarta - Masalah kontrak PT Freport Indonesia yang merupakan anak usaha dari Freeport McMoRan Inc tidak hanya melibatkan pemerintah Indonesia saja. Masalah ini juga menjadi sorotan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan Richard C. Adkerson menyatakan, Freeport merupakan salah satu perusahaan terbesar di AS, dan termasuk produsen tembaga terbesar di dunia. Freeport juga merupakan perusahaan yang paling banyak mempekerjakan di Amerika bagian Selatan.
"Freeport McMoran itu adalah perusahaan listed di AS. Di dalam Fortune 500, Freeport menduduki peringkat 155. Perusahaan terbesar untuk memproduksi copper," kata dia, di Jakarta, Senin (20/2/2017).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Adkerson, karena besarnya pengaruh Freeport di AS, permasalahan yang terjadi di Freeport Indonesia juga tidak luput dari perhatian pemerintah Amerika Serikat yang saat ini dipimpin oleh Donald Trump. "Jadi apapun yang terjadi di sini akan menjadi perhatian pemerintah AS. Seperti juga Freeport Indonesia," tutur Adkerson.
Freeport Indonesia tidak bisa melakukan ekspor mineral olahan (konsentrat) sejak 12 Januari2017 karena belum menyepakati perubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Hal tersebut diperparah dengan tidak beroperasinya fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smeter) milik PT Smelting Gresik, tempat Freeport memurnikan konsentrat tembaganya, karena aksi mogok karyawan.
"Izin ekspor berkahir Januari 2017, kami ada dua kapal yang dikirim ke Gresik setelah ditutup, karena ada pemogokan di Gresik kami tidak kirim lagi ke Gresik," ungkapnya.
Kondisi tersebut membuat stok konsetrat di gudang Freeport Indonesia penuh, karena itu dilakukan penghentian kegiatan pengoahan sejak 10 hari lalu. Atas ha tersebut, perusahaan menyatakan dalam kondisi force majeure. "Karena tidak ada lagi penyimpanan untuk ke Gresik, itu memaksa kita menyatakan force majeure ke pembeli konsentrat kita," tutur Adkerson.
Saat ini perusahaan tambang asal AS tersebut telah mengurangi kegiatan produksi, karena bijih yang dihasilkan tidak bisa diolah dan diekspor, selain itu untuk efisiensi agar kondisi keuangan tetap normal saat tidak bisa mengekspor konsentrat.
"Akibatnya kita menurunkan produksi operasi kita sangat tajam, kita produksi sedikit bijih untuk stok. Kami lakukan sedikit kegiatan tambang untuk melindungi operasi," tutup Adkerson. (Pew/Gdn)