Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan pada tanggal 27 Januari 2017, telah menandatangani Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Sebagaimana diketahui, Permen tersebut mengatur harga pembelian maksimum tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) yang dihasilkan dari energi terbarukan yaitu tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.
Baca Juga
Semangat dari Permen tersebut adalah penyediaan listrik dari EBT dengan biaya penyediaan seefisien mungkin agar tidak membebani subsidi energi dalam APBN, dan masyarakat bisa mendapatkan tarif listrik yang lebih baik.
Advertisement
Arah subsidi energi dalam APBN diharapkan dapat terus turun. Tahun 2014 realisasi subsidi energi tercatat sekitar Rp. 342 triliun, dan menurun tahun 2015 dan 2016 masing-masing sebesar Rp 119 Triliun dan Rp 108 Triliun. Sedangkan untuk tahun 2017 ditargetkan juga terus turun menjadi sekitar Rp 77 Triliun.
Dalam rangka penyediaan listrik dari EBT secara efisien, ada baiknya fokus dilakukan pada wilayah dengan BPP setempat lebih tinggi dari BPP Nasional. Wilayah tersebut terdapat di Timur Indonesia, serta sebagian Sumatera dan Kalimantan. Potensi EBT di wilayah tersebut juga cukup besar yaitu sekitar 210 Giga Watt (GW).
Upaya penurunan BPP pun dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi yang tepat dan menerapkan manajemen rantai nilai yang lebih baik.
Beberapa waktu pasca penerbitan Permen tersebut, sempat terjadi keraguan di berbagai kalangan diantaranya asosiasi, pelaku usaha, dan pengamat EBT terkait gairah investasi EBT. Namun, keraguan tersebut dapat terjawab dengan beberapa fakta berikut ini:
1. Kecenderungan penurunan tarif listrik dari EBT di belahan dunia. Menurut laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) tahun 2017, terdapat 16 negara dengan harga listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dibawah 10 cent$/kWh, bahkan 5 negara diantaranya dibawah 5 cent$/kWh. Perkembangan terakhir, terdapat lelang penyediaan listrik dari PLTS di Abu Dhabi dengan penawaran harga sebesar 2,42 cent$/kWh untuk kapasitas 350 Mega Watt (MW).
2. Perusahaan Siemens bersama Duta Besar Jerman untuk Indonesia pada saat pertemuan dengan Wakil Menteri ESDM, tanggal 1 Februari 2017, sempat menyatakan bahwa invetasi di wilayah Indonesia Timur atau wilayah dengan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik setempat lebih besar dari BPP Nasional, masih menarik.
Mereka akan melakukan kajian, penjajakan dan memahami terkait kebijakan EBT yang diterapkan ini. Selain itu, pada 17 Februari 2017 juga telah ditandatangani MoU antara Menteri ESDM dengan Menteri Kebijakan dan Energi Swedia dalam rangka mendukung pengembangan EBT.
3. PT Pindad (Persero), sebagai perusahaan yang juga memiliki kapabilitas untuk pengembangan industri EBT, menyatakan sanggup mendukung pembangunan PLTS dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB) kapasitas hingga 10 MW di Timur Indonesia, terutama di Papua dan NTT, dengan harga mengacu Permen ESDM Nomor 12 tahun 2017.
4. Tercatat setidaknya ada 13 Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) antara PT. PLN (Persero) dengan pengembang EBT yang telah ditandatangani sebelum diterbitkannya Permen ESDM No. 12/2017 yang harga jualnya masih dibawah harga sebagaimana Permen ESDM tersebut. 13 PJBL tersebut untuk pembangkit listrik EBT yang terletak di 6 wilayah yaitu Sulawesi Selatan-Barat; Sulawesi Utara-Tengah-Gorontalo; Sumatera Utara; Aceh; Nusa Tenggara Timur; dan Bangka Belitung.
Artinya Permen ESDM Nomor 12 tahun 2017 masih aplikatif untuk diterapkan dalam rangka pengembangan EBT yang efisien.Â
Powered By:
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)