Sukses

Apa yang Terjadi Jika Pengiriman Pesawat PTDI Molor?

PT Dirgantara Indonesia pernah mengalami beberapa kali keterlambatan pengiriman pesawat karena ada peningkatan spesifikasi pesanan.

Liputan6.com, Jakarta - PT Dirgantara Indonesia (Persero) atau PTDI menjadi satu simbol kemajuan industri kedirgantaraan Indonesia. Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut telah memproduksi beberapa jenis pesawat seperti CN235 yang kini telah banyak dipakai beberapa negara di dunia.

Di tengah perkembangan tersebut, ada beberapa hal yang sedikit menjadi kendala perusahaan dalam mengembalikan kejayaan perusahaan seperti sebelum krisis 1998-1999.

Deputi Bidang Industri Pertambangan, Industri Strategis dan media Kementerian BUMN‎ Fajar Harry Sampurno menjelaskan, salah satu kendala yang dihadapi perseroan dalam menjalani bisnis adalah pembayaran denda keterlambatan pengiriman pesanan pesawat.

"Sebenarnya itu sudah biasa, tapi karena pengadaan beberapa komponen itu kita impor, seperti mesin, itu yang menjadikan batas waktu pengiriman sedikit molor," kata Harry saat berbincang dengan Liputan6.com seperti ditulis, Selasa (7/3/2017).

Tercatat PTDI pernah mengalami beberapa keterlambatan pengiriman pesawat. Seperti pada pengadaan helikopter Super Puma NAS 332 untuk TNI-AU. Pesawat itu seharusnya Mei 2013 dikirimkan, tetapi baru pada April 2015 diterima TNI-AU. Akibatnya PT DI membayar denda sebesar Rp 8,9 miliar.

Tak hanya itu, pengadaan C212-400 untuk Thailand juga pernah mengalami keterlambatan. Pesawat itu akhirnya dikirim pada Januari 2016 dimana seharusnya sesuai kontrak pada Okktober 2013. Akibatnya PTDI harus membayar denda US$ 13,52 juta atau kurang lebih Rp 179 miliar (estimasi kurs 13.300 per dolar AS).

Beberapa denda yang dibayarkan tersebut biasanya dinegosiasikan antara PT DI dengan para pelanggan. Seperti halnya pesanan Thailand, akhirnya denda bisa dihapus setelah adanya berbagai pertimbangan kedua belah pihak.

"Misal keterlambatannya itu ada beberapa komponen yang di luar kontrak, seperti upgrade sistem, atau nambah ini itu. Hal tersebut bisa dinegosiasikan, bahkan PTDI bisa saja tidak dikenakan denda," tegas dia.

Jika kontrak pembuatan pesawat dilakukan dengan rupiah, maka tidak terlalu membebani keuangan perusahaan. Berbeda jika kontrak dilakukan dengan dolar AS. "Yang membebani keuangan PTDI itu paling besar dari kurs," tutupnya.‎ (Yas/Gdn)