Sukses

BI Minta Swasta Penuhi Aturan Utang Agar Krisis Tak Berulang

BI keluarkan aturan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi non bank yang diimplementasikan 1 Januari 2015.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan Peraturan BI Nomor 16/21/PBI/2014 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri (PLN) Korporasi Non Bank. Pengelolaan utang swasta tersebut bertujuan agar Indonesia tidak mengulang sejarah krisis moneter (krismon) 1997-1998.

Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo mengungkapkan, PBI Ketentuan Penerapan Prinsip Kehati-hatian (KPPK) ini sudah diimplementasikan penuh sejak 1 Januari 2015 hingga periode 2017.

Khusus penerapan PBI KPPK pada 2017, BI telah menetapkan, beberapa ketentuan mengenai rasio lindung nilai atau hedging, rasio likuiditas, dan peringkat utang yang menjadi acuan pengelolaan utang luar negeri swasta.

"Pertama, rasio lindung nilai diterapkan minimum 25 persen dari selisih negatif antara aset valas minus kewajiban valas. Per 1 Januari 2017, harus di perbankan domestik," ucap Dody saat ditemui di Gedung BI, Jakarta, Selasa (7/3/2017).

Kedua, Ia menuturkan, risiko likuiditas perbandingan antara aset valas dan kewajiban valas ditetapkan minimum 70 persen. Jadi, aset valasnya dapat meng-cover minimal 70 persen dari kewajibannya.

"Ketiga untuk yang overleverage (utang terlampau banyak), korporasi harus mendapatkan peringkat utang yang diterbitkan minimal BB-. Yang memberikan rating bisa pemeringkat domestik maupun asing," dia menerangkan.

Dody menjelaskan latar belakang diterbitkannya aturan pengelolaan utang swasta tersebut pada 2014. Ketika itu, lanjutnya, kondisi utang luar negeri non korporasi meningkat. Pertumbuhannya mencapai 17,9 persen rata-rata 2010-2014. Pasalnya sektor swasta membutuhkan sumber pendanaan dari luar negeri, selain domestik.

"Kalau melihat kondisi 1997-1998, krisis karena ULN tidak dikelola dengan baik. Karena memang sebelum penerapan PBI, ULN meningkat dengan cepat dan naiknya risiko yang dihadapi debitur di dalam maupun luar negeri," ujar dia.

Melihat situasi amburadulnya pengelolaan ULN swasta, Dody bilang, Indonesia harus memitigasi risiko utang karena miss match nilai tukar rupiah sehingga diperlukan lindung nilai. Risiko selanjutnya likuiditas valas oleh debitur yang tidak mencukupi dan risiko jumlah ULN terlalu banyak atau overleverage.

"Tapi setelah PBI ini diterapkan, pertumbuhan utang terus melambat mencapai minus 5,6 persen di kuartal IV-2016 (Yoy). Posisi ULN swasta turun dari US$ 163,6 miliar di Desember 2014 menjadi US$ 158,7 miliar pada periode yang sama 2015," ujar Dody.