Sukses

Dilema Karyawan di AS Saat Pakai Media Sosial

Saat ini yang menjadi masalah yaitu membuat karyawan "hadir" di tempat bekerja imbas dari aktifnya pakai media sosial dan ponsel pintar.

Liputan6.com, Jakarta - Acara Oscar pada awal Maret ini memberikan suatu pelajaran saat di dunia kerja. Salah satunya bijak menggunakan ponsel pintar dan media sosial.

Managing partner PriceWaterHouseCoopers (PwC) memberi Warren Beatty amplop yang salah pada acara Oscar sehingga membuat film terbaik "sementara" jatuh ke film La La Land, dan bukan Moonlight.

Kejadian tersebut terjadi lantaran Brian Cullinan, salah satu dari mitra PwC sempat dikabarkan sedang mentweet foto Emma Stone setelah ia menerima Oscar untuk aktris terbaik. Dirinya pun telah hapus tweet tersebut, padahal sempat tertangkap tweet oleh pengguna Twitter lainnya.

Ada pun usai kejadian pemberian amplop yang salah saat Oscar tersebut, the Academy of Motion Picture Arts and Sciences tidak memberikan sanksi untuk Cullinan. The Wall Street Journal pun melaporkan Cullinan tidak akan dipecat. Cullinan pun tidak lagi kirim tweet dan foto sejak kejadian tersebut.

Salah satu insiden ini pun menimbulkan pertanyaan. Mengapa seorang manajer senior PWC membuat tweet atau kicauan di belakang panggung selama upacara penghargaan?

Berdasarkan laporan Career Builder pada 2016 menemukan, kalau satu dari lima pengusaha menilai produktivitas karyawannya hanya kurang dari lima jam sehari. Salah satu penyebab terbesarnya yaitu penggunaan ponsel pintar atau smartphone.

"Pekerjaan telah menjadi terganggu terutama di tempat kerja. Bahkan klien saya bertanya bagaimana mengelola karyawan yang aktif di media social saat bekerja," ujar Steve Langerus, Konsultan Steve Langerud and Associates seperti dikutip dari laman Marketwatch, seperti ditulis Rabu (8/3/2017).

Ia juga menekankan kalau saat ini masalah yang sangat besar yaitu membuat karyawan hadir di tempat bekerja. Apalagi mengingat penggunaan smartphone dan media sosial yang aktif saat bekerja.

Penggunaan smartphone ini dinilai telah cukup mempengaruhi karyawan saat bekerja. Bahkan kini seseorang sudah kecanduan terhadap smartphone hingga menimbulkan fobia. Berdasarkan survei Bank of America pada 2014, hampir setengah dari orang Amerika Serikat (47 persen) tak bisa pergi tanpa smartphonenya.

Selain itu, sejumlah ahli menilai media sosial yaitu Twitter dan Instagram juga menjadi media sosial yang cukup menganggu karyawan.

Bagi karyawan AS, aktif di media social bagai pedang bermata dua. Mereka sering kali didorong untuk tweet dan eksis di media social. Selain itu, saat melamar kerja, seorang calon karyawan juga sering dinilai dari seberapa banyak pengikut di twitter.

Namun sisi lain, Pew Research Center menemukan kalau peran media sosial tidak selalu jelas memainkan peran dalam kehidupan kaum buruh. Sementara itu, bagi karyawan muda mereka lebih menyukai untuk menemukan informasi soal kolega di media sosial. Padahal media sosial memiliki tingkat rendah untuk memberikan opini professional tentang mereka.

"Saat ini kita berada di situasi kerja yang aneh. Saat sebagian besar organisasi mendorong karyawannya untuk menggunakan media sosial dan ponsel pintar berhubungan dengan pekerjaannya. Di sisi lain, karyawan juga diminta untuk memberikan pandangan transparan soal lingkungan kerja dan merek. Namun perusahaan juga ingin karyawannya tetap fokus saat melaksanakan pekerjaannya," jelas Tim Sackett, President HRU Technical Resources.