Liputan6.com, Jakarta Hutan mampu memasok energi terbarukan untuk kebutuhan manusia. Pada saat yang sama, pengelolan hutan berkelanjutan juga bisa menopang kehidupan dan menjadi benteng dari bencana perubahan iklim.
Demikian dinyatakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. “Indonesia memiliki banyak potensi sumber energi terbarukan. Semuanya terkait langsung dengan keberadaan hutan dan lingkungan hidup,” ujar dia, Selasa (22/3/2017).
Advertisement
Baca Juga
Sumber energi terbarukan itu diantaranya adalah biofuel, biomassa, panas bumi, air, angin, matahari, gelombang laut dan pasang surut.
Saat ini sekitar 90 persen energi di Indonesia masih menggunakan energi berbahan fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Sisanya, kurang dari 10 persen yang sudah memanfaatkan energi terbarukan.
Untuk pengembangan energi terbarukan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah mengkaji pengembangan hutan tanaman energi. Tanaman yang dimanfaatkan adalah jenis yang bisa digunakan sebagai energi biofuel dan biomassa. Misalnya ekaliptus, sengon, nyamplung, akasia, kalaindra, dan kemiri.
Menteri Nurbaya juga mengungkapkan ada potensi panas bumi sebanyak 48 titik di hutan konservasi, 56 titik di hutan lindung, dan 50 titik di hutan produksi.
Sementara pada 145 titik di areal penggunaan lain yang berpotensi sebagai sumber panas bumi. Jika dimanfaatkan, titik panas bumi itu bisa menghasilkan energi listrik hingga 28.617 Mega Watt.
“Lokasinya antara lain di Telaga Bodas, Kamojang, Batang Gadis, Kerinci Seblat, Halimun Salak, Ciremai, Rinjani, dan Bogani Nawarta Bone,” kata Nurbaya.
Dia juga menuturkan, pemanfaatan energi terbarukan dan pengelolaan hutan berkelanjutan adalah bagian penting dari mitigasi perubahan iklim.
Dia mengingatkan pentingnya menjaga hutan sebagai sistem penyangga kehidupan yang diantaranya adalah menjaga tata air yang sangat diperlukan bagi mahkluk hidup.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengungkapkan sudah ada 32 perusahaan yang siap untuk mengembangkan hutan tanaman energi. “Luasnya, 1,1 juta hektare,” jelas dia.
Rinciannya, ada 10 unit yang sejak awal memang disiapkan untuk hutan tanaman energi. Luas totalnya sekitar 297.645 hektare. Selain itu ada sekitar 22 unit lagi yang sudah menyatakan komitmen untuk pengembangan hutan tanaman energi dengan luas konsesi sekitar 790.000 hektare.
Hutan tanaman energi yang dikembangkan, khususnya adalah untuk menghasilkan biomassa. Pemanfaatan biomassa sebagai bahan baku energi diyakini lebih lebih mudah dan dekat untuk mencapai tahap masal.
Tantangan paling besar untuk pengembangan hutan tanaman energi adalah harga jualnya yang masih lebih tinggi dari tarif dasar listrik.
Ketentuan saat ini mengatur Harga Jual Listrik dari energi baru dan terbarukan ke PLN yang dipatok maksimal 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik masing-masing wilayah.
Berdasarkan kebijakan tersebut, lanjut Indroyono, pengembangan bioenergi dari biomasa di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah akan sangat sulit karena harga listrik yang dihasilkan lebih mahal ketimbang biaya pokok produksi listrik di wilayah itu.
“Meski demikian, untuk wilayah Indonesia timur masih ada peluang. Sebab disana banyak memanfaatkan pembangkit diesel yang harganya listriknya lebih mahal,” dia menjelaskan.
Menurut dia, perlu dicari terobosan agar usaha energi biomassa menarik diterapkan di wilayah Indonesia Timur maupun wilayah Indonesia Barat.