Sukses

Indonesia Harus Tingkatkan Hubungan Bilateral dengan AS

Pemerintah terlebih dahulu membuat paket negosiasi dengan Amerika Serikat.

Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump akan menerapkan prinsip proteksionisme untuk meningkatkan nilai tambah produk negaranya.

Dengan kebijakan itu,‎ negosiasi business to business diperkirakan sulit dilakukan untuk meningkatkan perdagangan dengan Amerika Serikat. Salah satu cara yang harus ditempuh adalah secara bilateral.

Ketua sekaligus Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia Christianto Wibisono‎ menyarankan, Presiden RI Joko Widodo atau pemerintahannya harus sering-sering bertemu dengan Presiden AS Donald Trump untuk meningkatkan hubungan ekonomi ke dua negara.

"Jadi era free lunch in the world‎ sudah berakhir, sekarang sudah masuk ke era you have to pay for your lunch. Memang mau tidak mau kita harus meningkatkan hubungan bilateral dengan AS," kata Christianto dalam diskusi 'GLobal Trade Opportunity Vs Trumponomics: Indonesia Inc Strategic COmpotitiveness' yang diadakan oleh Pusat Data Bisnis Indonesia‎ (PDBI) di Hotel JW Marriot, Jakarta, Rabu (29/3/2017).

Dia memaparkan selama ini banyak negara yang diuntungkan dengan berbagai perjanjian perdagangan dengan AS, seperti salah satunya melalui Trans Pasific Partnership (TPP). Oleh karena itu AS memutuskan untuk menarik dari TPP.

Dengan begitu, saat ini peluang Indonesia dengan berbagai negara untuk merambah pasar AS setara. Peluang ini menurut Christianto yang harus diambil pemerintah Indonesia melalui penguatan bilateral.

Hanya saja, sebelumnya, dia menyarankan kepada pemerintah untuk terlebih dahulu membuat paket negosiasi dengan AS. Hal apa saja yang berpotensi ditawarkan ke AS. Pemerintah negara paman Sam itu sendiri tidak menganggap hal itu sebuah kerugian.

"Akhirnya, kita harus identifikasi bidang mana saja yang bisa ekspansi atau investasi besar-besaran. AS itu nomor 10 investasinya di Indonesia, perdagangan dengan Vietnam kita kalah. Vietnam itu US$ 50 miliar, kita cuma US$ 25 miliar per tahunnya, itu suatu hal yang pasti ada sebabnya," papar dia. (Yas)