Sukses

Ditjen Pajak Intip Data Kartu Kredit Nasabah, Ini Kata Perbankan

Kewajiban perbankan menyampaikan data kartu kredit nasabah dari Ditjen Pajak sudah berlaku sejak tahun lalu.

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan bakal kembali menelusuri data kartu kredit nasabah perbankan usai berakhirnya program pengampunan pajak (tax amnesty) pada 31 Maret 2017.

Kalangan perbankan yakin kebijakan tersebut tidak akan membawa dampak besar terhadap transaksi kartu kredit perbankan.

Presiden Direktur dan CEO Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja mengungkapkan, kewajiban perbankan menyampaikan data kartu kredit nasabah dari Ditjen Pajak sudah berlaku sejak tahun lalu. Namun kemudian ditunda dari Juli 2016 sampai Maret 2017 karena menunggu program tax amnesty selesai.

"Secara peraturan sangat dimungkinkan karena data tersebut bukan rahasia bank. Isunya tinggal di teknis pelaksanaannya agar bank-bank seragam dalam melaksanakannya," kata Parwati melalui pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (30/3/2017).

Ia menilai, dampak yang akan ditimbulkan dari pemberian data kartu kredit nasabah ini tidak akan signifikan mengingat Wajib Pajak (WP) sudah diberi kesempatan ikut tax amnesty. Sosialisasi pun telah dilakukan pemerintah.

"Dampaknya saya rasa relatif karena sudah diberi kesempatan di tax amnesty. Jadi kalaupun ada dampak, tidak terlalu besar," Parwati menerangkan.

Dihubungi terpisah, Senior General Manager, Head of Consumer Card PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Santoso Liem mengatakan, para nasabah lama sudah bisa menerima kebijakan dari Ditjen Pajak bahwa data kartu kredit mereka oleh pihak perbankan akan dilaporkan secara berkala kepada Ditjen Pajak.

Santoso beralasan, nasabah lama sudah memahami bahwa penggunaan kartu kreditnya akan dimonitor Ditjen Pajak. Kekhawatiran justru ada di nasabah baru.

"Mungkin untuk nasabah-nasabah baru ada kekhawatiran. Tapi saya pikir tidak perlu khawatir dan takut kalau mereka menggunakan kartu kredit dengan bijak. Sepanjang pengeluarannya sesuai dengan penghasilan tidak perlu khawatir," jelasnya.

Diakui Santoso, sebelum aturan ini ditunda, nasabah bank sedikit kaget karena datanya diintip Ditjen Pajak. Ketika itu, sempat terjadi penurunan transaksi 15 persen, tetapi kemudian volume kembali normal.

"Sempat turun 15 persen (transaksi kartu kredit) saat beberapa tahun lalu diumumkan. Tapi setelah dijelaskan, mereka paham dan volume kembali normal. Beberapa customer mengalihkan pengeluarannya dengan transaksi tunai, tapi ada yang tetap spending namun mungkin memisahkan dengan corporate card, dan lainnya," terangnya.

Pihaknya mendorong agar pemerintah memberikan insentif pajak bagi nasabah bank yang menggunakan transaksi non tunai, meskipun usulan tersebut tidak mudah diimplementasikan. Pemberian insentif pajak ini diserahkan kepada pemerintah.

"Saran kami kalau nasabah yang biasa berbisnis menggunakan kartu kredit khusus sebagai pebisnis daripada kartu kredit pribadi, sehingga belanja sesuai dengan pelaporan pajaknya. Jadi saya pikir, kita berikan alternatif tepat supaya spending sesuai penggunaan dan purposes-nya," papar Santoso.

Untuk diketahui, OCBC NISP dan BCA merupakan dua diantara 23 bank penerbit kartu kredit yang bekerja sama dengan Ditjen Pajak untuk pelaporan data atau informasi kartu kredit nasabah.

Daftar bank ini tertuang dalam PMK Nomor 39 Tahun 2016, Bank/Lembaga Penyelenggara Kartu Kredit wajib menyerahkan data transaksi nasabah kartu kredit, paling sedikit memuat nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu.

Data lainnya, meliputi NIK/Nomor paspor pemilik kartu, NPWP pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi nilai transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi, serta pagu kredit. Data bersumber dari Billing Statement.

Bentuk data ini disampaikan secara elektronik dengan cara online ataupun langsung. Pelaporan data transaksi kartu kredit nasabah tersebut pertama kali disampaikan paling lambat 31 Mei 2016.