Liputan6.com, Jakarta - PT Freeport Indonesia selama 50 tahun telah mengeksploitasi kekayaan Tanah Papua. Selama setengah abad itu pula, masyarakat di wilayah Indonesia Bagian Timur ini harus menanggung duka nestapa berkepanjangan akibat anak usaha Freeport McMoran itu karena mengabaikan hak-hak masyarakat adat dua suku besar, Amungme dan Komoro.
Kekecewaan ini disampaikan Pengurus Masyarakat Adat Independen (MAI) yang juga merupakan perwakilan dua suku tersebut dalam Konferensi Pers di kantor LBH Jakarta, Minggu (2/4/2017).
Sekretaris MAI sekaligus Perwakilan dari Suku Komoro, Ronny Nakiaya mengungkapkan, semenjak masuk di Timika, Papua, pada 1967 melalui legalitas Undang-undang Penanaman Modal Asing, Freeport dan pemerintah Indonesia tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat dua suku besar di Bumi Papua, Amungme dan Komoro dalam setiap proses negosiasi.
Advertisement
"Hak tanah adat dirampas Freeport tanpa negosiasi dengan masyarakat adat. Hak-hak sipil, sehingga timbul konflik kepentingan elit di masyarakat, masyarakat di adu domba," kata Ronny.
Belum lagi hak-hak lingkungan yang sudah rusak dari kegiatan penambangan Freeport. Menurutnya, masyarakat setempat kini kehilangan mata pencaharian karena yang biasanya bertani atau meramu makanan sendiri, sudah tidak dapat melakukannya lantaran terkena limbah dari aktivitas penambangan.
"Dari sisi kekerasan, kami tidak bisa masuk ke area-area Freeport tanpa izin tertentu, padahal itu dianggap tanah leluhur mereka," paparnya.
Baca Juga
Ronny menegaskan, selama hadir di Indonesia sejak 1967 lalu, Freeport tidak pernah memberikan kontribusi apapun kepada rakyat Papua, termasuk masyarakat adat dua suku tersebut. Sampai akhirnya pada 1996, sambungnya, muncul perlawanan yang menelan korban jiwa. Saat itulah, ruang-ruang tertutup itu perlahan terbuka.
"Sejak 1967 Freeport beroperasi, tidak ada kontribusinya. Barulah pada 1996, mereka memberikan dana bantuan yang dibalut dengan program tanggungjawab sosial (CSR) sebesar 1 persen untuk menutupi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Freeport sejak masuk Timika," paparnya.
Sayangnya, dia bilang, perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu tidak transparan dengan penyaluran dana tersebut, termasuk dengan jumlahnya. Ronny mengaku, dana CSR 1 persen dari Freeport tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat, tapi hanya menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat akar rumput dan elit.
"Dana CSR kan harusnya lari ke masyarakat, tapi ini malah yang dapat pemerintah, militer. Lalu buat kami dapat apa. Transparansi tidak jelas berapa dananya. Kami tidak pernah tahu data apapun dari mereka, karena mereka menutup rapat semua informasi ke luar," tegas Ronny.
Dirinya tak menampik bila dengan dana CSR tersebut digelontorkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan pembangunan rumah sakit. Akan tetapi, Ronny masih mempertanyakan apakah yang diberikan Freeport selama ini sudah sesuai dengan yang didapat dari sumber daya alam Papua.
"Jangan-jangan yang dibawa keluar lebih banyak, kita yang dikasih sedikit. Sebab Freeport harus bertanggungjawab pada lingkungan di dekat daerah operasi yang sudah rusak, tanggul bocor, sekitar ratusan hektare (ha) tanah tandus, gunung-gunung bolong karena dikeruk. Itu kerugian sudah berapa? Ini yang harus dikembalikan Freeport," Ronny menuntut.
Sementara itu, Tokoh Perempuan di MAI, Adolfina Kuum menambahkan, pihaknya menolak segala bentuk kompromi pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat karena dalam setiap negosiasi, pemilik atau masyarakat adat Papua tidak pernah dilibatkan. Paling parah, katanya, terjadi pergeseran nilai-nilai budaya semenjak Freeport hadir di Bumi Papua.
"Negara ini sudah gagal, tidak pernah menghargai hak-hak kami. Dana 1 persen ini siapa yang dapat? Anak-anak yang dikirim ke Australia untuk sekolah dari Freeport, itu siapa yang menerima? Karena itu tidak benar, tidak dirasakan masyarakat pribumi. Pengembangan tidak ada, yang ada hanyalah penghancuran," tegasnya. (Fik/Gdn)