Sukses

Dinanti Pemda, Utang SMI dari 2 Lembaga Asing Rp 2,6 T Belum Cair

Pinjaman SMI sebesar US$ 200 juta, terdiri dari US$ 100 juta dari Bank Dunia dan US$ 100 juta dari AIIB.

Liputan6.com, Jakarta PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) mengantongi komitmen pinjaman dari Bank Dunia dan Bank Investasi Infrastruktur Asia (Asian Infrastructure Investment Bank/AIIB) senilai US$ 200 juta untuk mendukung Regional Infrastructure Development Fund (RIDF).

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian Keuangan itu baru dapat menarik utang tersebut pada semester II-2017.

Direktur Utama SMI Emma Sri Martini mengungkapkan, pinjaman sebesar US$ 200 juta, terdiri dari US$ 100 juta dari Bank Dunia dan US$ 100 juta dari AIIB. Jika dihitung dengan kurs rupiah 13.300 per dolar AS, maka komitmen utang tersebut mencapai Rp 2,67 triliun.

"Negosiasi sudah dilakukan, tapi belum efektif untuk penandatanganan. Jadi efektifnya mudah-mudahan di semester II-2017, sedangkan penyalurannya kepada pemerintah daerah (pemda) di 2018," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Selasa (4/4/2017).

Lebih jauh Emma menjelaskan, perusahaan akan menerima dana tersebut untuk mendukung RIDF. RIDF kemudian akan menjadi tambahan akses kredit bagi pemerintah daerah untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur, termasuk penyediaan fasilitas air dan sanitasi, jalan, serta transportasi.  

"Kita akan salurkan ke pemda dalam bentuk pinjaman daerah, penyerapannya tidak langsung tapi bertahap dalam 2 tahun untuk US$ 100 juta. Karena penugasan dijamin pemerintah melalui mekanisme interest rate, jadi tingkat bunganya sama untuk seluruh pemda, setara Surat Utang Negara (SUN) 5 tahun, plus marjin 0,75 persen," dia menerangkan.

Pinjaman daerah dari utang Bank Dunia dan AIIB yang dikelola SMI ini, diakui Emma, fokus untuk membiayai pembangunan infrastruktur daerah, diantaranya jalan kota, jalan provinsi, rumah sakit, pasar tradisional, dan proyek lainnya.

Tujuannya, mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), dan mempercepat layanan publik.

"Daripada multiyear menunggu alokasi anggaran 2-3 tahun baru terbangun, tapi dengan pinjaman di tahun pertama terbangun barangnya, tahun kedua menikmati hasilnya dan pelayanan publik bisa terlaksana dengan cepat," Emma menuturkan.

Dia menambahkan, sudah banyak pemda yang antre mengajukan pinjaman tersebut. Di antaranya Kalimantan Utara untuk pembangunan rumah sakit, wilayah Sulawesi seperti Konawe, Kolaka Utara, sampai Pemda Sorong dan Papua.

Pinjaman daerah tersebut sangat cocok untuk Indonesia Tengah dan Timur yang ingin mempercepat pembangunan, dan memperbesar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

"Sekarang banyak mengajukan pinjaman untuk membangun proyek transportasi, sarana kesehatan, irigasi, jalan, rumah sakit, dan pasar," Emma berujar.

Syarat bagi pemda yang ingin memperoleh pinjaman itu, kata dia, paling utama melihat kemampuan anggaran di daerah tersebut, selain laporan keuangan harus tercatat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan rencana pinjaman disetujui pihak DPRD. Pinjaman dapat disesuaikan dengan fiskalnya.

"Kita lihat kapasitas fiskalnya. Misalnya butuh pinjaman Rp 300 miliar, nanti dari APBD porsi berapa, pinjaman berapa, kan tidak boleh melebihi kemampuan fiskalnya. Nanti harus ada underlying proyek," tandas Emma.