Liputan6.com, Jakarta Industri furniture memiliki potensi besar untuk terus meningkatkan ekspornya ke negara lain. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, ekspor furniture pada 2015 mencapai US$ 1,21 miliar, namun menurun di 2016 menjadi US$ 1,04 miliar.
Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kemenperin Gati Wibawaningsih mengatakan, untuk meningkatkan ekspor industri ini, pihaknya melakukan peningkatan kualitas produk dan SDM dari IKM furniture secara berkesinambungan.
Dia menjelaskan, dalam 5 tahun terakhir, pengembangan wirausaha baru di industri ini dilakukan pada 15 lokasi di Indonesia, seperti Pidie, Sampang, Bondowoso, Jepara, Kapuas, Pelalawan, Medan, Balikpapan, Lubuk Linggau, Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Cianjur dan Mamuju.
Advertisement
Selain itu, juga dilakukan pengembangan sentra industri di 19 lokasi, di antaranya Jayapura, Klaten, Palu, Mamasa, Bombana, Soppeng, Bone Bolango, Bali, Bandung. Selain itu juga Bandung Barat, Jawa Tengah, Bali, Bengkulu, Tangerang, Brebes, Cirebon, Sukoharjo, Gresik dan Yogyakarta.
"Kita juga mendukung promosi dan pemasaran produk IKM furniture. Dalam 5 tahun terakhir, sebanyak 32 IKM kita fasilitasi untuk mengikuti pameran di luar negeri, di Koln Jerman, Guangzho China, Las Vegas Amerika Serikat. Ini bertujuan untuk mendongkrak nilai ekspor dan meningkatkan peluang buyer dan konsumen dalam melakukan temu bisnis secara langsung," ujar dia di Kantor Kemenperin, Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Gati mengungkapkan, hingga saat ini sebanyak 14 IKM juga telah mendapatkan bantuan restrukturisasi berupa potongan harga antara 35 persen-45 persen dari pembelian mesin, dengan nilai total Rp 1,8 miliar. Juga dilakukan optimalisasi unit pelaksana teknis (UPT) guna mendorong perkembangan IKM furniture di sekitarnya.
"Teknologi dan inovasi juga diperlukan untuk menambah kreasi dan variasi pada produk furniture dan mebel agar dapat meningkatkan daya saing ekspor Indonesia," kata dia.
Sementara itu, terkait dengan sertifikasi verifikasi legalitas kayu (SVLK), Gati mengatakan pihaknya berharap kebijakan ini bisa dikaji ulang agar tidak menghambat perkembangan industri furniture. Sebab, sejumlah pelaku usaha industri furniture kerap merasa terbebani karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan SVLK.
Menurut Gati, Kemenperin akan mengusulkan beberapa poin untuk dikaji, di antaranya keringanan biaya SVLK bagi industri kecil. Kemudian, penyederhanaan persyaratan dokumen, di mana dokumen yang tidak terkait langsung dengan legalitas kayu sebaiknya dihilangkan. Dengan demikian biaya sertifikasi ini bisa ditekan.
"Selain itu, alangkah baiknya jika SVLK ini tidak diterapkan di sektor hilir. Karena jika bahan baku sudah legal, maka produk turunannya dapat dijamin memakai bahan baku legal. Ini juga untuk mencegah overlapping SVLK," tandas dia.