Sukses

Bank Dunia Ramal Ekonomi Thailand ‎Terendah di ASEAN, RI?

Perekonomian negara-negara besar dan berkembang di kawasan Asia Tenggara akan menguat lebih cepat pada 2017 dan 2018.

Liputan6.com, Jakarta Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2 persen pada 2017. Proyeksi ini lebih rendah dibanding beberapa negara berkembang di kawasan ASEAN lain, seperti Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar, namun lebih tinggi dari Malaysia dan Thailand.  

Ekonom Utama Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Sudhir Shetty mengungkapkan, perekonomian negara-negara besar dan berkembang di kawasan Asia Tenggara akan menguat lebih cepat pada 2017 dan 2018. Faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara berbeda.

"Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang pada tahun ini diprediksi 5,0 persen," kata dia saat memberikan laporan forecast pertumbuhan ekonomi di Asia Timur dan Pasifik di kantor Bank Dunia, Jakarta, Kamis (13/4/2017).

Dari laporan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di ASEAN oleh Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi tertinggi bakal dinikmati Laos di 2017 dengan perkiraan 7 persen. Kemudian disusul Myanmar, Kamboja, Filipina dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi masing-masing 6,9 persen pada tahun ini.

Di urutan kelima, ada Vietnam yang diramal bakal mengecap pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen di 2017. Lalu baru Indonesia dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, dan posisi dua terendah, Malaysia dan Thailand dengan perkiraan tumbuh masing-masing 4,3 persen dan 3,2 persen.

"Ekspansi kredit dan kenaikan harga minyak akan mendorong perekonomian Indonesia tumbuh menjadi 5,2 persen di 2017. Naik dari realisasi 5 persen di tahun lalu," ujar Senior Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, Hans Anan Back.

Pertumbuhan kredit diproyeksikan lebih cepat seiring peningkatan investasi. Termasuk buah dari kebijakan Bank Indonesia (BI) yang memotong suku bunga acuan sebanyak enam kali di tahun lalu.

Walhasil kebijakan ini ikut menyeret ke bawah tingkat bunga kredit modal kerja, dan kredit pinjaman investasi sehingga menggeliatkan penyaluran kredit.

"Sementara pendorong lain dari harga minyak dunia yang berpengaruh pada harga komoditas, seperti batu bara, CPO akan mengalami peningkatan. Sebab penurunan harga minyak dunia dan komoditas lain yang menjadi andalan ekspor Indonesia yang sudah terjadi beberapa tahun terakhir hanya bersifat sementara‎. Ke depan, harga akan kembali naik," jelas dia.

Melongok pengerek pertumbuhan ekonomi di negara berkembang di ASEAN, Shetty menuturkan, Filipina akan mendapat keuntungan dari belanja publik yang lebih tinggi untuk infrastruktur, kenaikan investasi swasta, ekspansi kredit, serta penambahan pemasukan dari luar negeri.

Dia meramalkan pertumbuhan ekonomi Filipina akan menguat menjadi 6,9 persen di 2017 dan 2018.

"Ekonomi Myanmar akan naik ke level 6,9 persen di 2017, bahkan terus menanjak menjadi 7,2 persen di 2018 seiring kenaikan belanja infrastruktur dan adanya reformasi struktural yang akan memancing investasi asing. Sementara realisasi 6,5 persen di 2016‎," kata dia.

Bank Dunia, lanjut Shetty, juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Kamboja bakal naik menjadi 6,9 persen di 2017 dan 2018. Pendorongnya peningkatan belanja publik, serta ekspansi di bidang pertanian dan pariwisata yang mengimbangi penurunan di bidang konstruksi dan garmen.

Lebih jauh, dia menambahkan, ekonomi Vietnam diramalkan akan terkerek ke atas menjadi 6,3 persen seiring sentimen pasar yang positif dan investasi asing langsung yang menguat.

Ekonomi Malaysia pun diperkirakan tumbuh menjadi 4,3 persen di 2017 dan 4,5 persen di 2018 karena subsidi pemerintah lebih tinggi dan belanja infrastruktur lebih banyak. Ini akan didukung pula dari kenaikan ekspor.

"Terlepas dari proyeksi yang positif, ketahanan wilayah tetap tergantung oleh keputusan pembuat kebijakan yang mempertimbangkan dan menyesuaikan ketidakpastian global maupun kerentanan domestik," dia mengingatkan.

Dia menyarankan, para pembuat kebijakan harus memprioritaskan kebijakan yang mengatasi kebijakan global yang dapat mengancam ketersediaan dan biaya keuangan eksternal, serta pertumbuhan ekspor. "Perlu ada upaya untuk memperkuat kebijakan dan kerangka institusional guna mempercepat pertumbuhan produktivitas," tandas dia.