Liputan6.com, Washington - Pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah pimpinan Donald Trump berhenti menyebutkan kalau China sebagai manipulator mata uang termasuk Jerman.
Sebelumnya pemerintahan Amerika Serikat telah menilai kedua negara itu menjaga mata uang tetap rendah sehingga mendapatkan keuntungan tidak adil dalam perdagangan dengan AS.
Pada Jumat pekan ini, Departemen Keuangan AS mengeluarkan laporan soal praktik mata uang dengan mitra dagang AS. Pemerintahan Trump pun menempatkan hal sama seperti dilakukan pemerintahan Obama pada tahun lalu terkait laporan praktik mata uang dengan mitra dagang AS yang dilakukan dua kali dalam setahun.Â
Advertisement
Baca Juga
Pemerintahan AS menempatkan Jerman dan China hadapi potensi masalah sama. Pihaknya pun menempatkan mitra dagang lainnya yaitu Jepang, Korea Selatan, Swiss dan Taiwan.
"Memperluas perdagangan dengan cara lebih bebas dan adil untuk semua orang AS mengharuskan untuk menghindari praktik mata uang yang tidak adil. Kami akan terus memantau dengan hati-hati," ujar Menteri Keuangan Steven Mnuchin, seperti dikutip dari laman CNN Money, seperti ditulis Sabtu (15/4/2017).
Sebelumnya Peter Navarro, Kepala Dewan Perdagangan Nasional di bawah pemerintahan Trump menyatakan kalau Jerman menggunakan euro "sangat undervalued" untuk menekan ekonomi AS.
Kanselir Jerman Angela Merkel membantah klaim itu. Ia menuturkan, Jerman sebagai anggota zona euro tidak dapat mempengaruhi euro dan telah mendukung bank sentral Eropa yang independen.
Selain itu, sebelum pemilihan presiden AS, Trump telah berjanji memberi label manipulator mata uang pada China. Namun, ia menarik ucapannya pada Rabu pekan ini saat wawancara dengan Wall Street Journal. "Mereka bukan manipulator uang," ujar Trump.
Ia menuturkan, kalau dia berubah pikiran karena China tidak memanipulasi mata uangnya selama berbulan-bulan. Sementara itu, China telah dikritik bertahun-tahun oleh negara lain karena menjaga yuan tetap rendah.
Akhir-akhir ini pemerintahan China pun dinilai sedang mencoba menopang mata uangnya. Karena tindakan itu, banyak ekonom dan investor menduga China tidak akan masuk kriteria manipulator uang oleh Departemen Keuangan.
Pemerintahan sebelumnya menggunakan tiga faktor untuk menentukan apakah sebuah negara termasuk manipulator mata uang yaitu surplus perdagangan dengan AS lebih dari US$ 20 miliar, surplus neraca berjalan lebih dari tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB), dan berulang kali devaluasi mata uang dengan membeli aset asing setara dua persen dari pengeluaran setahun.
Pada laporan Oktober 2016 lalu menemukan enam negara tersebut yaitu China, Jepang, Korea Selatan, Jerman, Taiwan dan Swiss memenuhi dua dari tiga kriteria tersebut. Presiden menggunakan laporan tengah tahunan itu sebagai alat diplomatik untuk sambil terlibat dengan negara yang memiliki kebijakan nilai tukar yang merugikan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja AS.
Penunjukan sebuah negara sebagai manipulator mata yang tidak segera memicu hukuman apapun namun dipandang sebagai provokasi oleh pemerintah lain. Terakhir kali AS menetapkan negara yang menjadi manipulapor uang yaitu China di bawah presiden Bill Clinton pada 1994.
Sebaliknya mantan Presiden Amerika Serikat George W.Bush dan Barack Obama melakukan pendekatan lebih diplomatis dengan memberi tekanan kepada China, Taiwan, dan negara lain untuk mengubah kebijakan mereka selama perundingan bilateral dan multilateral.