Sukses

Impor Barang di Bawah US$ 100 Bebas Bea, Devisa Negara Tergerus?

Aturan barang impor di bawah US$ 100 bebas bea dalam rangka mendorong pertumbuhan e-commerce.

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menetapkan kenaikan batas pembebasan bea masuk atas impor barang kiriman Free on Board (FOB) dari US$ 50 menjadi US$ 100.

Upaya ini dalam rangka mendorong pertumbuhan e-commerce yang diyakini akan meningkatkan penerimaan negara, khususnya pada pos bea masuk.

Kepala Seksi Humas DJBC, Devid Yohannis Muhammad mengungkapkan, perubahan FOB dari US$ 50 sebagai faktor diskon menjadi FOB US$ 100 bukan lagi sebagai faktor diskon.

Dengan begitu, ada potensi kenaikan penerimaan negara. Namun Devid mengaku belum menghitung potensi peningkatan tersebut.

"Berdasarkan perhitungan DJBC dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menggunakan data 2014 dan 2015, potensi penerimaan negara malah naik bukan turun," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (16/4/2017).

Devid mengatakan, potensi kenaikan penerimaan negara dari kebijakan pembebasan bea masuk ini karena dari data 2014 dan 2015, mayoritas sebaran harga barang kiriman lebih dari US$ 100.

Karena berdasarkan Perdirjen No. PER-2/BC/2017, atas barang kiriman yang melebihi batas nilai pembebasan, akan seluruhnya dikenakan bea masuk dan pajak impor.

Sementara di aturan sebelumnya apabila barang yang melebihi batas pembebasan akan dikenakan bea masuk dan pajak impor hanya atas kelebihannya.  

"Jadi kalau misalnya harga barang US$ 150 dan tarif bea masuk 10 persen. Kalau dulu jumlah bea masuk yang harus dibayar adalah 10 persen x (150-50) = US$ 10. Dengan aturan sekarang, jumlah bea masuk yang dibayar adalah 10 persen × 150 = US$ 15. Jadi ada kenaikan penerimaan sebesar US$ 5 (10-5)," terang Devid.

Sementara itu, Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi mengungkapkan, aturan kenaikan batas nilai barang kiriman yang dibebaskan bea masuk bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, kecepatan, akurasi, kemudahan perhitungan tarif, serta penelusuran barang kiriman. Tujuan lainnya, menyesuaikan dengan kenaikan pendapatan penduduk Indonesia.

"Jadi tidak mengurangi (penerimaan). Itu kan ada kompensasinya. Misalnya dulu saya impor barang kiriman US$ 150, saya kurangi dulu US$ 50 yang jadi objek bea masuk dan pajak impornya US$ 100, tapi sekarang US$ 150 ya semua US$ 150, tidak dikurangi. Kalau di bawah US$ 100 ya bebas bea masuk," Heru menjelaskan.

Menurutnya, kebijakan tersebut menyesuaikan dengan aturan batas barang kiriman yang ada di negara lain. Bahkan kata Heru, ada negara yang menerapkan batas barang kiriman senilai US$ 500 bebas bea masuk. Pernyataan ini sekaligus menjawab pertanyaan kekhawatiran Indonesia justru akan diserbu barang impor dengan aturan baru DJBC.

"Tidak lah (diserbu impor). Itu kan barang kiriman, menyesuaikan juga dengan perkembangan perdagangan e-commerce. Mereka kan sering beli barang di media elektronik, negara lain juga. Jadi Indonesia sebenarnya menyesuaikan dengan best practice di negara lain saja," tegasnya.

Untuk diketahui, dari data DJBC hingga 3 April 2017, penerimaan dari pos bea masuk tercatat baru Rp 7,87 triliun dari target Rp 33,74 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor sampai dengan periode tersebut, realisasinya Rp 34,24 triliun. Â