Liputan6.com, Jakarta - Selama beberapa dekade, Amerika Serikat (AS) telah kehilangan pabrik dan pekerjaan. Kini pabrik dan pekerjaan itu berkembang di China. Meski demikian AS tetap mendambakan untuk mempertahankan dalam menciptakan dan komersialisasi produk baru.
Akan tetapi, status itu semakin terkikis dan memukul ekonomi AS. Berdasarkan studi baru Boston Consulting Group (BCG) menyebutkan kalau AS masih tetap memegang peringkat untuk menanamkan investasi tinggi dalam riset dan pengembangan(Research and Development/R&D) sebesar US$ 500 miliar pada 2015.
Namun, beberapa tahun lalu, China diam-diam ternyata melampaui AS untuk investasi penelitian dan pengembangan sehingga mengubah produknya menjadi komersial. Berdasarkan penelitian, China akan investasi sekitar US$ 658 miliar pada 2018.
Advertisement
Baca Juga
Amerika Serikat dan China bekerja keras di antara negara lain menciptakan teknologi baru. Kemudian mengambil manfaat dari teknologi yang diciptakan kemudian mengubah menjadi produk komersial.
Perusahaan yang memimpin untuk mewujudkan ide sehingga produk yang dikomersialkan membangun pabrik di dekat pusat penelitian mereka. Ini agar para ilmuwan dapat menguji produk itu sebelum membuatnya.
Laporan BCG menyebutkan kalau penurunan investasi riset dan pengembangan telah memukul signifikan perekonomian AS.
Kini contoh utama dari pergeseran yaitu pengembangan pasar komersial drone atau pesawat . Militer AS mengembangkan teknologi pesawat tanpa awal sepanjang abad ke-20 untuk mengintai dan tujuan lainnya. Menambahkan microchip untuk kontrol nirkabel lebih baik dan baterai tahan lama.
Namun Da-Jiang dari China menyempurnakan kendaraan tak berawak untuk lebih menghindari tantangan dan menjadi pembangun terbesar untuk komersial drone. Mereka menjual produk itu ke perusahan properti dan konstruksi AS untuk aplikasi yaitu foto udara dan pemetaan. Da-Jiang memiliki tiga pabrik di Shenzhen.
AS juga melahirkan terobosan teknologi termasuk display panel datar, handset mobile digital, laptop dan panel surya. Namun mereka hanya meraba-raba kemudian mengembangkan produk itu ke negara lain terutama China dan Jepang.
Studi menyimpulkan AS memiliki potensi membalikkan tren melalui kerja sama lebih baik antara industri swasta, universitas dan konsorsium penelitian.
Pergeseran tersebut akan mendorong ouput produksi tahunan sebesar lima persen atau sekitar US$ 100 miliar, dan menambahkan 700 ribu tenaga kerja pabrik, dan 1,9 juta di sektor lainnya.
Namun sementara Presiden AS Donald Trump fokus mempersempit neraca perdagangan, dengan mengusulkan memangkas anggaran untuk riset dan pengembangan. Ini berpotensi ganggu sumber signifikan sektor manufaktur yang dapat menganggu tujuan untuk persempit neraca perdagangan. Pada tahun lalu, AS memiliki defisit perdagangan US$ 83 miliar untuk produksi teknologi.
AS memang masih menjadi pemimpin global untuk dasar penerapan R&D yang membuat penemuan awal kemudian mengembangkannya. Sekitar sepertiga dari dan US$ 500 miliar dihabiskan untuk aktivitas dalam R&D tersebut. Namun sisanya untuk pengembangan tahap pembangunan R&D.
Sedangkan China investasi 84 persen dana R&D untuk menghasilkan produk komersial. Selama dekade terakhir, pengembangan R&D di China tumbuh 20 persen per tahun dibandingkan di AS hanya lima persen.
"Di China, banyak perusahan teknologi yang dimiliki pemerintah. Jadi mereka tidak khawatir apabila pengeluaran R&D besar dan rugi hingga produk dikomersialkan. Bahkan penelitian perusahaan swasta disubsidi pemerintah," ujar Robert Atkinson, Presiden of the Information Technology and Innovation Foundation, seperti dikutip dari laman USA Today, seperti ditulis Rabu (19/4/2017).
Atkinson menambahkan, pemerintah China bahkan memberikan sektor swasta jadwal khusus untuk mendominasi area yaitu solar, printer, robot dan drone. Bahkan China secara rutin mencuri teknologi dan gagal untuk mendapatkan hak paten. "Mereka mendapatkan manfaat besar," ujar dia.
Oleh karena itu, BCG menyebutkan AS punya kesempatan untuk mengubah hal tersebut. Dengan 75 universitas terbaik di dunia ada di AS ini menjadi kesempatan. Namun ada sedikit kerja sama antara universitas, sekolah yang merupakan bagian terbesar dari penelitian dasar dan terapan dengan perusahaan swasta.
Kendala Kembangan Hasil Riset dan Penelitian
BCG pun mengidentifikasi kendala untuk mengembangkan produk dari hasil penelitian:
1. Universitas tidak terlalu baik mempromosikan penelitian terbaru mereka dan memasukkan kepada produsen atau perusahaan agar ditindaklanjuti. Peneliti hanya fokus mengamankan masa sedang perusahaan mencari laba atas investasi mereka.
Ketika perusahaan melakukan mitra dengan universitas, sering tujuan menjadi terbatas terutana produk. Jadi bukan untuk mengembangkan solusi industri sehingga memiliki tujuan jangka panjang agar dapat menciptakan lebih banyak pekerjaan.
"Perusahaan malu dan menghindari risiko sehingga tidak ingin membuat taruhan besar untuk transformasi teknologi. Mereka hanya fokus pada laba kuartalan,yang biasanya menentukan bonus eksekutif," ujar Atkinson.
2. Produsen AS enggan berkolaborasi dengan perusahaan lain karena tidak ingin berbagi hasil penelitian mereka dengan pesaing.
3. Produsen atau perusahaan enggan bekerja dengan pemasok untuk menetapkan standar industri yang dapat mengurangi biaya teknologi. Ini karena kekhawatiran pemasok akan berbagi informasi dengan pesaing.
Studi ini menyatakan kalau produsen atau perusahaan harus membangun hubungan jangka panjang dengan universitas. Contohnya hubungan Procter and Gamble dengan University of Cincinnati dan konsorsium penelitian sektor swasta yang fokus mengembangkan solusi industry. Sejak 2008, P&G telah investasi jutaan dolar AS ke universitas untuk meningkatkan produk rumah tangga, kemasan dan proses manufaktur.
"Jika ingin menjadi pemimpin untuk mengembangkan produk terutama hal penting dalam kehidupan masyarakat, dorong fokus dana untuk pengembangan produk yang penting," ujar penulis laporan BCG Justin Rose.
Â
Â
Â
Â
Advertisement