Liputan6.com, Tokyo - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melakukan kunjungan kerja ke Jepang. Kunjungan kerja ini tak hanya diskusi kerja sama di sektor perikanan dengan Jepang tetapi juga mempelajari teknologi dan mekanisme pengaturan perikanan di sana.
Oleh karena itu, dalam lawatannya, Susi mengajak empat pejabat eselon I dan seorang pejabat eselon II lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), guna menggali ilmu di sana.
Baca Juga
Mereka yang turut serta yaitu Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) Brahmantya Satyamurti Poerwadi, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (Dirjen PDSPKP) Nilanto Perbowo, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP) Eko Djalmo Asmadi, dan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (Dirjen PB) Slamet Soebjakto, beserta Kepala Biro Kerja Sama dan Humas (Kepala BKSH) Lilly Aprilya Pregiwati.
Advertisement
"Kami tak perlu berangkat banyak-banyak yang penting efektif. Cukup kami bawa Dirjen-dirjen agar mereka bisa belajar apa-apa yang diperlukan untuk peningkatan di bidang masing-masing demi pengembangan kelautan perikanan Indonesia ke depan," ujar Susi.
Tak hanya mendampingi kegiatan Susi, beberapa pejabat yang ikut serta juga melakukan kunjungan kerja secara mandiri.
Pada Jumat 14 April 2017, Dirjen PRL Brahmantya Satyamurti Poerwadi didampingi Kepala BKSH Lilly Aprilya Pregiwati mengunjungi Japan Fisheries Information Services Center (JAFIC), yaitu lembaga independen yang ditunjuk pemerintah Jepang untuk mengelola sistem informasi data produksi pendaratan ikan di Jepang.
Dalam kunjungan tersebut, mereka disambut oleh Kepala Divisi Manajemen Sumber Daya JAFIC Shin Fujita.
Kepada mereka Fujita menjelaskan, data hasil transaksi jual beli di tempat-tempat pendaratan ikan yang dikelola JAFIC, digunakan Jepang sebagai alat untuk memonitor Total Allowed Effort (TAE) dan Total Allowed Catch (TAC) secara periodik setiap bulan. Apabila TAC atau TAE sudah terlampaui, perizinan penangkapan ikan akan diberhentikan sementara, hingga izin baru maupun perpanjangan izin selesai dilakukan.
Sebagai informasi, TAC adalah jumlah maksimal hasil penangkapan ikan yang diperbolehkan, berdasarkan jenis ikan dan alat penangkapan.
Adapun TAE adalah jumlah hari berlayar dan jumlah kapal penangkap ikan yang diperbolehkan beroperasi, berdasarkan alat tangkap tertentu di daerah penangkapan dan waktu penangkapan tertentu.
Menurut Fujita, para pemilik kapal atau nelayan tak langsung melaporkan tangkapan mereka kepada JAFIC. Data hasil transaksi di pendaratan ikan direkam oleh koperasi perikanan Jepang (Fisheries Cooperative Associations/FCA) secara periodik.
Data tersebut akan dikirim kepada Perfecture dan Fishery Agency (setingkat Provinsi), Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF) melalui Japan Fisheries Information Service Center (JAFIC).
"Kegiatan pendataan produksi pendaratan ikan ini penting untuk menghitung stock assessment melalui TAC dan TAE yang berlaku di Jepang, sebagai instrumen untuk mengendalikan hasil tangkapan jenis ikan tertentu sehingga menjamin sustainability atau keberlanjutan," ungkap Fujita.
Brahmantya mengungkapkan, Indonesia sebenarnya juga telah memiliki aturan batas maksimal jumlah dan jenis tangkapan ikan yang tertuang dalam Keputusan Menteri KP Nomor 47 Tahun 2016.
Namun Ia menuturkan, Indonesia belum memiliki lembaga independen yang diberikan wewenang untuk mengelola teknologi informasi dan merekam data hasil tangkapan seperti yang dimiliki Jepang.
"Hasil studi banding ini tentu bisa kita jadikan bahan pembelajaran," tutur Brahmantya.
Brahmantya juga mengapresiasi sistem pengelolaan perikanan di Jepang yang melibatkan semua unsur masyarakat.
"Kami dapat mempelajari sistem pengelolaan perikanan di Jepang yang melibatkan semua unsur masyarakat, seperti koperasi perikanan, asosiasi perikanan, peneliti, perguruan tinggi, praktisi perikanan, dan pemerintah daerah dan pusat, termasuk lembaga independen, dalam menjaga keberlanjutan sumber daya ikan kita," tutur Brahmantya.
Selain itu, Dirjen PDSPKP Nilanto Perbowo bersama Dirjen PSDKP Eko Djalmo Asmadi, Brahmantya, dan Lilly juga mengunjungi kantor Mitsui Engineering & Shipbuilding co, Ltd, yaitu sebuah perusahaan desain dan pembangunan kapal di Jepang. Mereka diterima langsung oleh Vice President Mitsui Takaki Yamamoto.
Ajak Jepang Investasi di RI
Dalam kunjungan tersebut, Nilanto tertarik dengan kapal multipurpose (serbaguna) milik Mitsui yang menggunakan teknologi canggih. "Saat ini, Indonesia belum punya kapal serbaguna. Nah, kami butuh itu untuk difungsikan dalam berbagai keperluan seperti riset, pendidikan, pengawasan, bahkan untuk keperluan rumah sakit," terang Nilanto.
Untuk itu, Nilanto mengundang Jepang untuk berinvestasi di Indonesia, dan mendapat sambutan baik dari Yamamoto. "Kami akan berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur dan perkapalan di Indonesia karena kami yakin ekonomi Indonesia akan tumbuh pesat," ungkap Yamamoto.
Selanjutnya, rombongan KKP juga melakukan kunjungan ke Tsukiji Fish Auction (Tempat Pelelangan Ikan Tsukiji) untuk mengamati aktivitas pelelangan ikan di sana.
Pada Kamis 13 April 2017, Dirjen PB Slamet Subiyakto juga menyampaikan hasil penjajakan kerja sama dengan lembaga penelitian kelautan dan perikanan Jepang, National Research Institute of Aquaculture. Menurut Slamet, Indonesia dapat mempelajari kandungan nutrisi dan pembuatan pakan ikan laut dari lembaga tersebut, setelah keberhasilan mereka membuat pakan ikan red sea bream.
"Ikan red sea bream tidak jauh beda proteinnya dengan baramundi, sekitar 40% lebih, hampir sama. Sangat memungkinkan mengirimkan staf kita untuk magang, training di nutrisi (National Research Institute of Aquaculture)," kata Slamet.
Selain pembuatan pakan ikan, dari kunjungan tersebut, Slamet juga mempelajari peluang pengembangan benih sidat dan penanganan penyakit ikan laut. "Jepang sudah menerapkan vaksinasi dan penanganan penyakit ikan laut. Kita juga bisa contoh dan lakukan. Kita sudah sampaikan kepada Dirjen National Research di sini, mereka sangat welcome," ujar Slamet.