Sukses

4 Pelajaran Mengharukan di Hari Kartini buat Anak Muda

Setiap 21 April, masyarakat Indonesia merayakan hari lahir Kartini, perempuan yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 138 tahun silam.

Liputan6.com, Jakarta - Setiap 21 April, masyarakat Indonesia merayakan hari lahir Kartini, perempuan yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, tahun 1879 atau 138 tahun silam.

Kartini dikenal sebagai perempuan Indonesia yang memiliki gagasan modern tentang perempuan Indonesia. Gagasan Kartini diketahui luas setelah surat-suratnya kepada sahabatnya di Belanda, diterbitkan menjadi buku tahun 1911 oleh Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

Gagasan Kartini di buku itu cukup mengejutkan masyarakat pada masanya, dan sebagian besar masih relevan hingga hari ini, termasuk bagi generasi milenial yang sedang giat membangun karir atau merintis usaha.

Berikut ini beberapa kisah tentang Kartini yang bisa menjadi inspirasi buat generasi milenial, disarikan Halomoney.co.id dari berbagai sumber:

1. Sekolah Hanya Sampai Usia 12 Tahun, Jago Bahasa Belanda

Kartini hanya bersekolah formal sampai usia 12 tahun. Saat itu Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School), sekolah dasar pada masa Hindia Belanda untuk warga Eropa, keturunan timur asing dan pribumi dari tokoh terkemuka, yakni dari keluarga ningrat Jawa yang menjadi kepala daerah saat itu.

Saat bersekolah formal di ELS, Kartini bisa menguasai bahasa Belanda dengan fasih, mengingat bahasa Belanda menjadi pengantar di sekolah tersebut. Tetapi setelah usia 12 tahun, Kartini harus banyak berdiam di rumah sebelum dinikahkan alias dipingit.

Namun penguasaan bahasa asing, yakni Belanda, selanjutnya sangat membantu Kartini dalam mengembangkan diri dan menemukan jati dirinya.

2. Banyak Membaca dan Belajar Otodidak

Selama dalam “penjara” di rumah selama empat tahun, Kartini justru banyak memanfaatkan waktunya dengan membaca, belajar dan menulis. Dengan kemampuan berbahasa Belanda yang cukup, Kartini banyak menambah wawasan dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa yang tersedia di rumahnya.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief. Ia juga menerima leestrommel (paket majalah) yang diedarkan toko buku kepada langganan. Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.

Kartini kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan.

Dari bacaan-bacaan itulah Kartini tertarik pada masalah-masalah yang dihadapi perempuan Indonesia dan masalah sosial secara umum. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat perempuan pribumi saat itu berada pada status sosial yang rendah.

Ingin Jadi Guru atau Koki

3. Ingin Jadi Guru atau Koki

Cita-cita Kartini ialah menjadi guru agar dia bisa mengajarkan ilmu pengetahuan ketrampilan kepada para perempuan. Cita-cita ini diketahui dari suratnya pada awal tahun 1900.

Kutipannya: “Sementara saya sendiri ingin belajar menjadi guru, agar dapat menngajarkan kepada calon ibu, ilmu pengetahuan, pengertian kasih dan keadilan seperti yang kami ketahui dari orang-orang Eropa.”

Pada surat yang lain, tanggal 6 November 1899, Kartini mengatakan jika ia tidak dapat menjadi apa yang ia inginkan, dia akan menjadi koki saja. Kartini berpikir bahwa di mana pun koki yang bagus akan selalu dibutuhkan.

Saat itu, meski berada di dalam lingkungan keluarga ningrat, Kartini tidak merasa rendah diri dengan profesi juru masak atau koki yang saat itu masih relatif baru dikenal.

Baca juga: 21 Perempuan Inspiratif untuk Kesuksesan Finansialmu di Hari Kartini

4. Mendirikan Sekolah dan Bengkel Ukir Kayu

Selain memperjuangkan emansipasi wanita dengan membentuk sekolah untuk perempuan, Kartini juga mendirikan sebuah Bengkel Ukir Kayu di Rembang. Kriya ukir dan kayu memang telah lama menjadi tulang punggung perekonomian Kabupaten Jepara dan Rembang, Jawa Tengah.

Pendirian bengkel ukir kayu ini membuktikan Kartini cukup memberikan perhatian kepada pendidikan ketrampilan bagi perempuan, tidak hanya pendidikan umum.

Tidak Mengandalkan Asal Usul

5. Tidak Mengandalkan Asal Usul Keluarga dan Keturunan

Kartini meninggal dunia dalam usia yang relatif muda 25 tahun, meninggalkan satu orang anak bernama Soesalit Djojoadhiningrat. Kematian Kartini yang mendadak, empat hari setelah melahirkan, membuat keluarganya berkabung sehingga menamakan anaknya Soesalit.

Artinya si kecil Soesalit memasuki memasuki masa sulit sebab tidak merasakan lagi kehangatan pelukan ibunya.

Kelak anaknya Kartini, Soesalit, berkarir sebagai anggota militer hingga menjadi menjabat sebagai Kolonel hingga Mayor Jenderal sebagai Panglima Divisi III Diponegoro Jawa Tengah pada 1946-1948. Anak semata wayang Kartini itu meninggal pada 1962.

Keturunan Kartini diketahui secara luas hanya sampai Soesalit dan putranya Boedhy Setia Soesalit yang juga berarti cucu satu-satunya Kartini. Salah satu pesan Soesalit kepada Boedy agar hidup sederhana tanpa mengklaim status atau haknya sebagai keturunan Kartini.

Prinsip ini sebagaimana diajarkan oleh Kartini untuk tidak membanggakan asal usul keturunan, karena Kartini menentang masyarakat feodal yang selalu melihat asal usul keturunan dan keluarga.