Sukses

Garuda Indonesia Kaji Ulang Rute yang Tak Bikin Untung

Maskapai Garuda Indonesia saat ini tengah melakukan pembenahan besar-besaran di manajemennya untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Liputan6.com, Jakarta Maskapai Garuda Indonesia saat ini tengah melakukan pembenahan manajemen besar-besaran untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Salah satu hal yang dilakukan mengkaji ulang beberapa rute.

Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N Mansury mengaku pihaknya tengah fokus mengkaji total 20 rute yang selama ini kurang menguntungkan bagi perusahaan.

"Ini sebagai bagian dari kegiatan operasional sebuah maskapai, dari waktu ke waktu kita melakukan review mengenai profitabilitas rute-rute yang kita terbangi selama ini, jadi belum ada keputusan," kata Pahala di Cengkareng, Jumat (5/5/2017).

Pahala menjelaskan 20 rute tersebut terdiri dari 10 rute internasional dan 10 rute domestik. Rute-rute tersebut dikaji bukan berarti akan ditutup semuanya. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan.

Opsi yang bisa ditempuh perusahaan mulai dari perubahan jadwal, penggantian pesawat dan memastikan terkoneksi dengan penerbangan-penerbangan lainnya. Namun jika hal itu dirasa tidak bisa dilakukan, maka opsi terakhir adalah pengurangan rute atau penutupan rute penerbangan.

Untuk rute internasional, Pahala mencontohkan, beberapa rute penerbangan langsung Garuda Indonesia ke London tidak menguntungkan bagi perusahaan.

"Jadi rute ini nanti tidak harus langsung memberikan laba ke perusahaan, tapi paling tidak bisa mengurangi kerugiannnya, itu sudah bagus sekali buat memperbaiki kinerja perusahaan nantinya," papar Pahala.

Maka dari itu, Pahala memastikan jika nantinya ada pengurangan frekuensi penerbangan atau penutupan rute penerbangan, nantinya untuk pembukaan rute baru akan dilakukan lebih hati-hati.

Seperti diketahui, Garuda Indonesia membukukan rugi bersih atau rugi yang diatribusikan ke entitas induk sebesar US$ 98,5 juta pada tiga bulan pertama 2017, atau sekitar Rp 1,31 triliun (kurs 13.300). ‎Namun, rugi periode berjalan adalah sebesar US$ 99,1 juta.

Jika dibandingkan kuartal I tahun lalu, emiten dengan kode saham GIAA itu masih mencetak laba bersih atau laba yang diatribusikan ke entitas induk sebesar US$ 1,02 juta. Sedangkan laba periode berjalan adalah sebesar US$ 800 ribu.

Pahala mengatakan, kerugian bersih tersebut utamanya disebabkan kenaikan harga bahan bakar avtur.

Dalam setahun terakhir, biaya bahan bakar naik 54 persen dari US$ 189,8 juta menjadi US$ 292,3 juta.

"Kita tahu dalam setahun ini harga minyak meningkat, dan berpengaruh terhadap biaya bahan bakar," kata Pahala.

Kenaikan biaya bahan bakar tersebut secara signifikan membuat total biaya operasional meningkat 21,3 persen dari US$ 840,1 juta menjadi US$ 1,01 miliar. Penerimaan yang naik 6,2 persen dari US$ 856 juta menjadi US$ 909,5 juta tak mampu mengkompensasi tingginya biaya. (Yas)

Â