Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan tidak akan menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)Â dari yang saat ini berlaku Rp 54 juta setahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Hal ini dilakukan demi menjaga penerimaan pajak maupun basis pajak yang sudah ada.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, saat ini tidak ada wacana untuk menaikkan lagi PTKP. "Kita berharap PTKP tidak akan kembali naik dalam beberapa tahun ke depan," tegasnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Untuk diketahui, masyarakat berpenghasilan Rp 54 juta setahun atau Rp 4,5 juta per bulan ke bawah bebas dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh) dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) PPh. Ketentuan yang lama hanya Rp 36 juta setahun atau Rp 3 juta per bulan.
Advertisement
Kebijakan kenaikan PTKP tersebut faktanya bukan saja menggerus penerimaan pajak, tapi juga basis pajak. Berdasarkan data Ditjen Pajak hingga akhir April 2017, jumlah pelaporan SPT PPh Tahun Pajak 2016 dari Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) Karyawan mengalami penurunan 5,03 persen atau 513.986 SPT menjadi 9.711.466 SPT dari periode yang sama tahun lalu 10.225.452 SPT.
"Selain menurunkan kepatuhan formal (SPT Tahunan) termasuk SPT 2016, juga menurunkan penerimaan pajak penghasilan sekitar Rp 18 triliun sampai Rp 24 triliun per tahun," Hestu Yoga menegaskan.
Baca Juga
Sebetulnya, tujuan pemerintah menyesuaikan batas kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak di 2016 menjadi Rp 4,5 juta per bulan untuk mendorong konsumsi masyarakat. Namun pada kenyataannya pertumbuhan konsumsi rumah tangga, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengalami perlambatan menjadi 4,93 persen di kuartal I-2017. Sementara realisasi di kuartal yang sama 2016 sebesar 4,97 persen.
Dalam situasi dilematis antara mendorong konsumsi rumah tangga dan meningkatkan penerimaan maupun basis pajak, Ditjen Pajak memastikan masih bertahan pada kebijakan PTKP saat ini.
"Untuk PTKP, belum ada sejarahnya diturunkan lagi (untuk meningkatkan basis pajak dan penerimaan lagi). Dan perlu banyak pertimbangan untuk kembali naikkan PTKP karena justru menggerus basis pemajakan kita," kata Hestu Yoga.
Senada, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara pun mengungkapkan demikian. "Belum ada kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak lagi," ujarnya.
Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS, Sri Soelistyowati mengungkapkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal I-2017 melambat dapat ditunjukkan dari beberapa indikator yang menandakan belanja masyarakat.
Kredit konsumsi perbankan termasuk penggunaan kartu kredit tumbuh melambat menjadi 8,75 persen di kuartal I-2017 dari periode sama tahun lalu 9,24 persen. Pertumbuhan penyaluran pembiayaan atau kredit multiguna pun terkontraksi negatif 1,28 persen.
"Indeks penjualan ritel makanan minuman yang tadinya di kuartal I-2016 tumbuh 11 persen, sekarang cuma 4,2 persen di kuartal I-2017. Penjualan motor dari tumbuh negatif 8,63 persen menjadi negatif 6,84 persen, kemudian penjualan mobil penumpang tumbuh hanya 8,19 persen dari sebelumnya 14 persen," terang Sri.
Penumpang angkutan udara, diakui Sri, meskipun cukup tinggi jumlahnya, namun pertumbuhannya melambat dari 18 persen menjadi 10 persen di kuartal I ini. Lalu impor barang konsumsi mengalami pertumbuhan turun signifikan dari 24 persen menjadi 5,4 persen, serta kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang tidak terlalu signifikan di tahun ini.
"Tapi posisi simpanan atau tabungan meningkat. Mungkin orang banyak yang nabung dulu, baru buat konsumsi di kuartal II (puasa dan lebaran). Termasuk faktor konsumsi rumah tangga tumbuh melambat salah satunya karena UMP tidak naik banyak," tandasnya. Â (Fik/Gdn)