Liputan6.com, Jakarta - Penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 1.498,9 triliun pada 2017. Hanya saja, untuk mencapai target penerimaan pajak, pemerintah perlu kerja keras.
Pengamat ekonomi dari Economic Action Indonesia Ronny P Sasmita menjelaskan salah satu indikator sulitnya target penerimaan pajak itu bisa dicapai adalah pemerintah baru saja selesai menjalankan program pengampunan pajak atau tax amnesty. Artinya, DJP tak bisa lagi memeriksa dan memaksa wajib pajak yang selama ini nakal untuk membayar pajak.
"Nah, tugas atau solusi yang paling mungkin untuk DJP adalah fokus pada objek pajak yang selama ini tidak terkena atau yang tidak ikut program tax amnesty," kata Ronny kepada Liputan6.com, Jumat (12/5/2017).
Advertisement
Baca Juga
Ronny memaparkan, dulu pemerintah pernah mengumumkan ada aset sekitar Rp 11.000 triliun yang bisa ikut tax amnesty atau pengampunan pajak. Namun, hasil program tax amnesty itu mencatat total harta yang dilaporkan Rp 4.855 triliun hingga 31 Maret 2017. Harta itu terdiri dari deklarasi harta di dalam negeri Rp 3.676 triliun, harta luar negeri Rp 1.031 triliun, repatriasi Rp 147 triliun.
"Oleh karena itu, saya menyarankan agar DJP mengejar sisanya untuk ditindaklanjuti," tegas dia.
Selanjutnya, DJP juga harus mengawasi harta yang telah diikutsertakan pada program tax amnesty. Karena sebagaimana diketahui dalam program pengampunan pajak, banyak yang melaporkan harta yang bisa berkembang alias memberikan pendapatan bagi pemiliknya.
Ronny mencontohkan, harta berupa apartemen, rumah kontrakan, atau tanah, jika disewakan, maka akan memberikan pendapatan kepada pemiliknya. Itu menandakan ada penambahan potensi penerimaan pajak dari pemiliknya.
"Singkatnya, pemerintah di satu sisi memang harus mempercepat reformasi perpajakan agar bisa menciptakan kepastian dalam penyelenggaraan kinerja perpajakan yang kemudian berimbas kepada perbaikan penerimaan sektor perpajakan. Dan di sisi lain, pemerintah juga harus mampu memberikan terapi-terapi ekonomi untuk memuluskan lahirnya pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi," jelas pria yang juga sebagai Staf Ahli Ekonomi di Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu. (Yas)
Â
Â