Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melalui Peraturan Menteri (PM) Nomor 1 Tahun 2015 telah melarang penggunaan cantrang oleh nelayan dalam penangkapan ikan di perairan Indonesia.
Namun, penerbitan permen itu sampai saat ini masih menjadi polemik. Beberapa kalangan nelayan mengaku menolak penerapan aturan tersebut.
Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengaku polemik mengenai pelarangan penggunaan cantrang itu hanyalah isu yang dikembangkan oleh nelayan kalangan tertentu.
Advertisement
"Itu nelayan yang punya kapal di atas 30 gross ton (GT) saja. Karena mereka termasuk yang terkena dampak mengenai kebijakan ini," kata Arif di Jakarta, Sabtu (13/5/2017).
Baca Juga
Arif mengungkapkan, padahal kalangan nelayan tersebut selama ini banyak yang curang dalam penggunaan cantrang. Kecurangan itu salah satunya dengan melakukan mark down ukuran kapal.
Dengan melakukan mark down tersebut, izin penangkapan ikan hanya dilakukan di pemerintah daerah, tidak harus ke pemerintah pusat, dalam hal ini ke Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ia menuturkan, sebenarnya para nelayan besar tersebut sudah memiliki fasilitas perbankan dalam menjalankan bisnisnya. Jadi ada pelarangan penggunaan cantrang ini, nelayan-nelayan besar bisa mendapatkan alternatif pendanaan dalam menjalankan bisnisnya.
Hal ini berbeda dengan nelayan-nelayan kecil. Mereka selama ini merasa kehilangan lahan penangkapan ikan, karena kapal-kapal besar tersebut menggunakan cantrang, tapi penangkapannya hingga ke wilayah pesisir.
"Jadi nelayan-nelayan kecil itu sebenarnya tidak ada masalah dengan aturan pelarangan cantrang ini. Bahkan saat saya berkunjung ke suatu daerah, mereka ada yang menggelar syukuran," ujar dia.
Arif menjelaskan, peraturan pelarangan penggunaan cantrang selain untuk menjaga ekosistem sumber daya laut, juga untuk melindungi para nelayan-nelayan kecil. (Yas)