Sukses

Ini Penyebab Investasi Pencarian Migas RI Merosot

Penurunan investasi pada sektor hulu migas bukan hanya dialami Indonesia tetapi juga negara lain.

Liputan6.com, Jakarta - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan, harga minyak yang merosot menjadi penyebab penurunan investasi pada sektor hulu migas Indonesia.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, penurunan harga minyak dunia sejak 2014 membuat investor mengurungkan niat menanamkan modal pada kegiatan pencarian migas atau hulu. Hal ini menjadi faktor penyebab menurunnya investasi pada kegiatan hulu‎ migas Indonesia.

"Jadi investasi penyebab utama turun-nya harga minyak di akhir 2014 sampai sekarang belum naik setinggi dulu karena investasi juga belum naik," kata Amien, dalam sebuah diskusi bagaimana meningkatkan iklim investasi untuk mendukung kemandirian energi nasional, di Paramadina Graduate School Programs, Jakarta, Selasa (16/5/2017).

Menurut Amien, kondisi tersebut tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga dialami negara lain. Di negara asal, perusahaan migas asing juga mengalami kesulitan dan juga mengurangi investasi‎.

"Faktor utama itu, jadi penurunan investasi tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara lain. Mereka di sana juga kesulitan investasi, apalagi ke sini. Faktor harga minyak paling utama," papar Amien.

Amien mengungkapkan, penurunan investasi pada kegiatan hulu migas berdampak negatif pada industri penunjang, sehingga kegiatan produksi industri tersebut menurun hingga 30 persen. Akibatnya, perputaran ekonomi menurun dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Investasi migas turun karena harga minyak. Berakibat itu ke industri pendukung lebih besar," tutur Amien.

‎Berdasarkan data Indonesia Petroleum Association (IPA), investasi pada sektor hulu migas Indonesia pada 2016 menurun 26 persen dibanding 2015, dari US$ 15,34 miliar menjadi US$ 11,15 miliar.

Sebelumnya, pengamat energi Priagung Rakhmanto mengatakan, harga minyak dunia yang anjlok sejak 2014, belum menunjukkan perbaikan sampai saat ini. Pada 2017, harga minyak diperkirakan hanya berada di level US$ 50 sampai US$ 55 per barel, tidak bisa menembus melebihi US$ 60 per barel.

"2017 masih akan bertahan rendah, belum akan melebihi US$ 60. Masih di angka US$ 50-US$ 55 per barel," kata Priagung.

‎Priagung melanjutkan, keputusan negara OPEC yang sepakat mengerem tingkat produksi untuk mendongkrak harga minyak pun tidak berdampak banyak, upaya tersebut hanya menaikkan sedikit harga minyak. Lantaran, OPEC bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi harga minyak dunia.

"Sudah agak naik karena OPEC memutuskan memangkas produksinya. Kira-kira kalau pun naik gradient-nya tidak langsung tinggi. Tidak jauh dari US$ 50 - US$ 55," tutur dia.

Priagung mengungkapkan, masih rendahnya harga minyak dunia sampai saat ini, disebabkan membanjir-nya pasokan minyak dunia di pasar sejak 2015‎, sehingga pasokan minyak lebih tinggi dari permintaan.

"Karena oversupply sudah lama sejak 2015. Pasokan banjir melebihi permintaan. Sama seperti yang terjadi 2017. Jadi harga minyak masih akan bertahan rendah dalam jangka waktu cukup lama," tutur Priagung.