Sukses

Jalankan Redenominasi, BI Butuh Waktu 7 Tahun

Dalam kurun waktu tujuh tahun, Bank Indonesia akan mencetak rupiah dengan desain baru.

Liputan6.com, Kuta - Bank Indonesia (BI) siap untuk melaksanakan kebijakan redenominasi atau penyederhanaan rupiah. Bahkan BI telah menyiapkan konsep pelaksanaan transisi.

Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo mengatakan, Bank Indonesia sampai saat ini masih menunggu pembahasan mengenai RUU redenominasi rupiah ini di DPR RI.

"Untuk melakukan itu, kesiapan itu penting. Kami dari Bank Indonesia menyiapkan masa persiapan atau masa transisi redenominasi selama tujuh tahun," kata Dody dalam Desemininasi Laporan Perekonomian Indonesia 2016 di The Anvaya, Bali, Senin (22/5/2017).

Selama tujuh tahun itu, Bank Indonesia akan memberikan rekomendasi dimana dalam pencantuman harga, harus dilakukan dalam dua nominal. Pertama nominal yang belum redenominasi, kedua, nominal yang sudah redenominasi.

Dalam kurun waktu itu, Bank Indonesia juga akan mencetak rupiah dengan desain baru yang sudah mengimplementasikan redenominasi dalam mata uang.

"Nanti kita keluarkan rupiah lama dan rupiah baru, jadi masyarakat menggunakan currency mana yang akan dibayarkan, semua diterima," tegas dia.

Seperti diketahui, menurut Dody, salah satu indikator ekonomi penting‎ dalam pelaksanaan redenominasi adalah persoalan inflasi. Inflasi Indonesia trus terjaga di bawah angka 4 persen. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tumbuh secara berkualitas.

Kesiapan Bank Indonesia ini juga menjadi pesan yang ditujukan kepada DPR RI untuk segera membahas‎ mengenai Rencana Undang-Undang Redenominasi.‎ Jika langsung dieksekusi, maka pembahasan bisa dilakukan pada kuartal II tahun ini.

Dody mengungkapkan, pelaksanaan redenominasi ini hal yang paling utama adalah komunikasi, mulai dengan DPR RI hingga ke masyarakat seluruh Indonesia. Komunikasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa redenominasi ini bukan sanering.

Redenominasi, ditegaskan Dody hanya pengurangan angka nol di mata uang, sehingga nilai mata uang tidak akan berubah. Berbeda dengan kebijakan sanering, dimana pengurangan nol dilakukan menurunkan nilai‎ rupiah.

Indonesia pernah melakukan sanering pada 24 Agustus 1959. Saat itu sanering dilakukan untuk mata uang Rp 500‎ yang bergambar macan dan Rp1000 bergambar gajah. Nilai masing-masing diturunkan hingga tinggal 10 persen saja.

Uang Macan yang semula mempunyai nilai Rp 500 berubah menjadi Rp 50 sedangkan uang gajah yang semula Rp 1.000 berubah menjadi Rp 100. Dan pemotongan nilai uang ini tidak terjadi dengan nominal-nominal yang lebih kecil.

"‎Jadi di sisi rupiah tidak akan ada pengaruh terhadap daya beli kita, ini hanya konteks pemotongan desimal. Jadi kesejahteraan masyarakat tetap terjaga," ujar Dody meneruskan. (Yas/Gdn)