Liputan6.com, Jakarta Persatuan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) menyatakan permintaan cabai di Indonesia melonjak saat momen-momen tertentu, seperti puasa dan Lebaran. Salah satunya dari industri yang mengambil porsi 40 persen dari total konsumsi cabai nasional. Tak heran bila sedikit saja pasokan cabai menipis, harga komoditas ini langsung bergerak naik.
Demikian disampaikan Ketua Umum Perhepi, Bayu Krisnamurthi, saat membuka Seminar Nasional Mendorong Perubahan Persepsi dan Perilaku Konsumsi Pangan Daging dan Cabai di Hotel Sari Pan Pasific, Selasa (23/5/2017).
"Permintaan mi instan dan produk saus sambal sangat besar, sehingga membutuhkan bahan baku cabai yang banyak. Permintaan cabai dari industri mencapai 40 persen," Bayu mengatakan.
Advertisement
Dari catatan Kementerian Pertanian, Indonesia mengalami surplus produksi cabai di Januari 2017 sebanyak 5 ribu ton. Produksi cabai di bulan pertama ini sebanyak 73 ribu ton, sedangkan kebutuhan konsumsi masyarakat sekitar 68 ribu ton.
Bayu menjelaskan, industri membeli cabai dari para petani menggunakan kontrak dengan harga tetap, sehingga perilaku konsumsi ini tidak mempengaruhi harga cabai di pasar. Sementara industri memborong cabai dengan harga murah dari harga jual eceran.
"Tapi yang jadi masalah kegiatan kontrak dengan industri membuat pasokan cabai ke pasar berkurang. Ini yang bikin cabai terasa langka dan itu yang ditangkap pasar, sehingga harga cabai naik. Pernah kan harga cabai rawit merah sampai Rp 180 ribu, karena cabai lain tidak laku. Di sisi lain, industri tidak bisa mensubstitusi dengan jenis cabai lain," ujarnya.
Dari data infopangan.jakarta.go.id, harga cabai rawit merah dan cabai merah keriting di pasar mengalami kenaikan harga masing-masing Rp 186 per kilogram (kg) menjadi Rp 63.558 per kg dan Rp 33.023 per kg.
Selain itu, ujar Bayu, pelaku usaha hotel, restoran, dan katering membeli cabai lewat pedagang grosir atau di pasar induk. Porsinya menyedot 30 persen dari total kebutuhan nasional. "Kaum urban makin jarang masak sendiri, beli makan di restoran atau katering," ujarnya.
Pemicu lainnya, mantan Wakil Menteri Perdagangan itu menyampaikan, kebutuhan cabai di kalangan rumah tangga mencapai 30 persen. Permintaan cabai selalu melonjak saat momen puasa, Lebaran, Natal, dan tahun baru, sampai di musim kawin atau pernikahan.
"Kontinue permintaan cabai selalu naik saat puasa, Lebaran, Natal, tahun baru, dan musim kawinan. Bulan-bulan baik untuk pernikahan memicu peningkatan kebutuhan cabai. Mereka (rumah tangga dan hotel) umumnya mau cabai yang segar, tidak mau yang beku," tutur Bayu.
Di samping itu, ujarnya, karakteristik rumah tangga cenderung gelisah apabila stok cabai mulai menyusut di pasar. "Jadi mau harganya berapa pun dibeli walaupun mahal. Kan, dendeng balado tidak bakal jadi dendeng balado tanpa cabai," ujarnya.
Bayu menyarankan pemerintah dapat mengendalikan harga cabai dengan cara memetakan permintaan cabai dari industri, baru kemudian mengarah ke rumah tangga. Pemetaan tersebut harus mengetahui jumlah pasokan cabai yang harus diamankan untuk kebutuhan industri.
"Biasanya kan mereka pakai forward trading, sudah bikin kontrak sebelumnya. Kemudian sisa pasokan cabai nantinya untuk ke pasar. Kita juga perlu mengajak masyarakat tanam cabai dalam pot, sehingga diharapkan mampu menstabilkan harga cabai,"Â ujarnya.