Sukses

Sri Mulyani Beberkan Alasan Anggaran Subsidi Jebol

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kenaikan anggaran subsidi yang terjadi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Neg

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kenaikan anggaran subsidi yang terjadi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Hal ini menjadi salah satu perhatian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2016 yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Sri Mulyani mengatakan, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran subsidi, termasuk bahan bakar minyak (BBM) jenis Solar, listrik, dan sebagainya di APBN. Sebagai contoh, untuk subsidi Solar sudah ditetapkan, baik dari jumlah kiloliter (kl) maupun besaran subsidi.

"Katakanlah 1 liter subsidinya Rp 500. Tapi ternyata harga di pasar bergerak, jadi subsidinya lebih besar dari apa yang dianggarkan," tegas dia saat ditemui usai Penyerahan LHP LKKL di kanto BPK, Jakarta, Jumat (26/5/2017).

Untuk diketahui, realisasi pembayaran anggaran subsidi di 2016 membengkak Rp 28,29 triliun menjadi Rp 163,88 triliun dari rencana kerja anggaran tahun lalu sebesar Rp 135,58 triliun.

Sri Mulyani menerangkan lebih jauh, selama ini cara Kementerian Keuangan dalam mengelola APBN adalah pemerintah membayarkan anggaran sesuai yang dipatok di APBN maupun APBN Perubahan. Tapi fakta di lapangan berbeda.

"Kenyataannya tagihan bisa saja lebih besar karena tadi (dinamika pasar)," tegasnya.

BPK, sambung Sri Mulyani, merekomendasikan penyusunan laporan keuangan dari basis kas menjadi akrual. Dengan basis tersebut, dia menambahkan, realisasi penyaluran subsidi yang disajikan dalam laporan keuangan tidak sebesar yang dibayarkan, melainkan sebesar tagihan subsidi tersebut.

"Itu artinya bisa jauh lebih besar (angka subsidi di laporan keuangan). Implikasinya pemerintah harus disiplin dalam melaksanakannya karena kalau tidak dilaksanakan, efeknya penganggaran subsidi lebih besar," jelasnya.

Hal ini tentu akan berdampak terhadap defisit fiskal. Defisit fiskal berpotensi membesar, sementara ada batasan defisit APBN yang diamanatkan dalam UU Keuangan Negara tidak melebihi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Jadi meskipun belum kita bayar, BPK akan menghitung jumlah defisit termasuk tagihan yang belum kita bayar. Itu artinya, kita harus memberikan buffer (cadangan) lebih besar apabila sampai terjadi hal-hal di luar kesepakatan UU APBN," paparnya.

Pemerintah, diakuinya, harus menekan defisit fiskal dengan mempertimbangkan tagihan-tagihan subsidi, termasuk penyelesaian proyek yang belum dibayarkan supaya tetap menjaga defisit pada level aman.

"Kaena kalau seluruh tagihan dimasukkan ke perhitungan laporan keuangan pemerintah, APBN kita akan jadi sangat ketat. Jadi buffer yang harus kita siapkan cukup besar dengan pengurangan defisit sangat signifikan," lanjut Sri Mulyani.

Namun demikian, perubahan penyusunan laporan keuangan berbasis akrual ini, kata Sri Mulyani masih dibahas antara pemerintah dan BPK. Pasalnya, APBN merupakan instrumen fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan hanya sebagai pertanggungjawaban pemerintah.

"Konsekuensinya cukup signifikan. Ini masih harus dibahas antara pemerintah dan BPK karena APBN bukan cuma pertanggungjawaban tapi untuk mengelola keuangan yang memiliki dinamika demi menjaga momentum pertumbuhan, mengurangi kemiskinan. Tapi kalau buat rating agency, pasti senang dengan rekomendasi BPK karena APBN akan lebih prudent," pungkas Sri Mulyani.