Liputan6.com, Jakarta Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menghadiri Nomura Investment Forum Asia (NIFA) 2017 yang berlangsung di Singapura, 6-9 Juni 2017.
Dalam NIFA 2017, Pemerintah yang diwakili Kepala Bappenas menawarkan 35 proyek infrastruktur, baik proyek public private partnership (PPP) maupun yang berskema PINA (Pembiayaan Investasi Non APBN), senilai US$ 30,5 miliar.
"Pembangunan infrastruktur menjadi fokus penting pemerintahan Presiden Jokowi-JK saat ini guna meningkatkan konektivitas, mengurangi kesenjangan wilayah, mendukung pembangunan desa dan perkotaan dan yang terpenting dengan infrastruktur yang memadai dapat menekan biaya ekonomi yang tinggi," jelas Bambang Brodjonegoro, Rabu (7/6/2017).
Advertisement
Keikutsertaan pemerintah di NIFA 2017 diharapkan dapat merangsang partisipasi investor luar negeri untuk masuk dan terlibat dalam skema investasi infrastruktur yang telah disiapkan pemerintah.
Di forum tersebut hadir kurang lebih 200 investor dari seluruh dunia yang terdiri atas 70 persen investor lokal Singapura dan 30 persen investor dari berbagai negara lainnya.
"Saya melihat ini sebagai peluang bagus untuk menggaet investor masuk dalam proyek-proyek infrastruktur kita," kata dia.
Beberapa investor dunia yang hadir antara lain Credit Suisse Asset Management, Daiwa Asset Management, DBS Bank, Deutsche Asset Management, East Springs, Fidelity Investments, Government of Singapore Investment Corporation, JP Morgan, Morgan Stanley, Temasek, China Assset Management, Abu Dhabi Investment Authority, Kuwait Investment Authority, Oman Investment Fund, Qatar Investment Authority, Aberdeen Asset Management, dan lain sebagainya.
Pada kesempatan tersebut, pemerintah menawarkan beberapa proyek infrastruktur yang terdiri atas 31 proyek dengan skema PPP dan 4 proyek melalui skema PINA.
Ada beberapa proyek pelabuhan, jalan tol, rel kereta api dan telekomunikasi/satelit yang ditawarkan kepada para investor yang hadir dalam forum tersebut.
Bambang juga menekankan pentingnya penggunaan skema pembiayaan melalui PINA ke depannya. PINA menjadi instrumen yang dapat menguntungkan bagi pemerintah dan Investor. Skema PINA memiliki potensi investasi yang terdiri atas 20 persen sampai 30 persen dari total modal (Equity Financing). Sementara 70 persen sampai dengan 80 persen pinjaman proyek (Loan Project) dan Obligasi Infrastruktur.
Dalam skema PINA, pemerintah tidak perlu menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk membangun proyek-proyek infrastruktur.
Keberadaan PINA bertujuan untuk mendorong keterlibatan swasta sebagai investor dalam pembangunan infrastruktur yang sebelumnya andil pemerintah lebih dominan. Besarnya kebutuhan investasi di infrastruktur membuat pemerintah memerlukan keterlibatan sektor swasta sebagai equity investor.
"Ke depan akan terus kita dorong karena sangat besar potensinya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur yang merata di seluruh wilayah Indonesia," jelas Bambang Brodjonegoro.
Dalam Visi 2045, Bappenas memproyeksikan Indonesia tumbuh rata-rata 6,4% sepanjang periode 2016-2045. Indonesia akan menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2035 dan menjadi negara dengan PDB keempat terbesar di dunia pada 2045. Pada kuartal I 2017, pertumbuhan ekonomi nasional tumbuh 5,01%, lebih baik dari kuartal sebelumnya sebesar 4,94%. Pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% dalam APBN 2017 dan RAPBN-P sebesar 5,3% hingga akhir tahun ini.
Selain itu, pemerintahan Presiden Jokowi terus meningkatkan iklim investasi dan kemudahan berbisnis di Indonesia. Salah satu tolak ukur keberhasilannya terlihat dari naiknya peringkat Kemudahan Berusaha (Ease on Doing Business) di Indonesia oleh Bank Dunia dari peringkat ke-106 menjadi peringkat 91. Ke depan fokus pemerintah akan memperbaiki dua indikator Ease on Doing Business yang sangat berpengaruh terhadap laju peringkat Indonesia yaitu prosedur memulai berusaha dan enforcing contract.
Indonesia, lanjut Bambang, diperkirakan mendapatkan arus investasi sebesar US$ 200 miliar di masa depan, setelah kenaikan peringkat kredit investment grade oleh S&P Global Ratings. “Sekarang setelah peringkat investment grade ini, saya yakin ada lebih dari US$ 100 miliar atau US$ 200 miliar investasi potensial, tidak hanya di obligasi pemerintah tapi juga saham dan obligasi korporasi,” kata dia.