Sukses

KEIN Ungkap Penyebab Masih Tingginya Harga Kebutuhan Pokok

Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta menyarankan pemerintah ikut memberdayakan tim pengendalian inflasi daerah untuk monitoring dan evaluasi.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menyayangkan masih tingginya harga-harga kebutuhan pokok di pasar-pasar tradisional. Padahal pemerintah telah menetapkan harga acuan yaitu harga eceran tertinggi (HET) dan harga acuan pembelian (HAP) untuk sejumlah komoditas.

"Hasil temuan KEIN menunjukkan adanya deviasi atau perbedaan harga yang sangat tinggi antara harga di pasar dengan harga acuan," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (8/6/2017).

Dia menjelaskan, perbedaan harga yang sangat tinggi itu, terutama pada komoditas beras, gula pasir, dan daging sapi. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) menunjukkan, untuk tiga komoditas utama tersebut harganya jauh lebih mahal.

"Bahkan informasi harga kebutuhan pokok yang dipublikasikan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga menunjukkan hal itu," lanjut dia.

Berdasarkan data PIHPS untuk periode September 2016 hingga 2 Juni 2017, rata-rata harga beras medium masih 17,2 persen di atas harga acuan. Sedangkan data Kemendag mengungkap selisih harga di pasar dengan harga acuan mencapai 12,08 persen.

Untuk harga gula pasir, rata-rata perbedaannya versi PIHPS mencapai 10,5 persen. Sedangkan pada data Kemendag mencapai 12,7 persen. Sementara untuk harga daging beku, realisasi harga di pasar mencapai 47,4 persen. Data versi Kementerian Perdagangan, perbedaannya hingga 43,1 persen.

Arif menuturkan, kondisi di luar harapan tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya rantai distribusi yang panjang dari produsen hingga ke konsumen akhir, sehingga terjadi ekonomi berbiaya tinggi.

"Seharusnya hal ini juga menjadi perhatian Kementerian Perdagangan saat menentukan kebijakan harga acuan," ujar dia.

Arif juga menyayangkan adanya data kebutuhan pokok yang tidak sinkron antara kebutuhan dan pasokan. "Hal itu terutama terjadi pada komoditas beras dan gula pasir," tutur dia.

Dia menyarankan agar pemerintah ikut memberdayakan Tim Pengendali Inflasi daerah (TPID) serta Tim Ketersediaan dan Stabilisasi Harga Barang Kebutuhan Pokok yang berada di bawah Kemendag, dalam pengendalian harga acuan. "Mereka bisa melakukan monitoring dan evaluasi," kata dia.

Selain itu, lanjut Arif, yang tak kalah pentingnya adalah terkait dengan sinkronisasi data kebutuhan dan pasokan. Untuk hal ini, dia menyarankan agar dilakukan secara regional, sehingga akurasinya lebih terjaga. "Pemerintah daerah dapat dilibatkan dalam hal ini," tutur Arif.‎

Sementara itu, Ekonom Senior Megawati Institute Muhammad Islam menyatakan, regulasi yang dibuat oleh Kemendag juga harus lebih rinci dan rigid terkait komoditas yang diatur. Pada komoditas besar misalnya, dalam aturan tidak disebutkan jenis beras yang ditetapkan harga acuannya.

Islam menyayangkan tidak adanya sistem peringatan dini jika harga sudah menyentuh batas harga acuan yang ditetapkan pemerintah. "Seharusnya Kemendag memiliki sistem peringatan dini untuk harga di pasar dengan baseline harga acuan," kata dia.

Â