Sukses

5 Fakta soal Iklim dan Perekrutan Tenaga Kerja di Asia Tenggara

Dalam laporan Deloitter 2017 Global Human Capital Trends menyebutkan kalau tenaga kerja dan SDM menghadapi tekanan besar.

Liputan6.com, Jakarta - Ketika generasi orang tua kita dan orang tua mereka sebelumnya hidup di zaman yang keamanan kerja adalah prioritas nomor satu. Selain itu para pekerja diharapkan untuk mematuhi aturan tanpa bertanya, sekarang ini bukanlah zamannya lagi untuk hal tersebut.

Umat manusia di zaman lainnya tidak pernah mendapatkan akses informasi seperti yang kita miliki saat ini. Penyebaran media sosial dan konten digital membuat kita terus mendapatkan informasi akan perkembangan dan tren global terkini dalam satu langkah. Kita membuat para perekrut untuk mempunyai standar yang lebih tinggi sekarang, karena kita bisa.

Sebagaimana dijelaskan dalam Deloitte 2017 Global Human Capital Trends Report: Talent Acquisition, "Bagian tenaga kerja dan perekrutan menghadapi tekanan besar. Kekurangan jumlah tenaga kerja dan kemampuan ahli sedang menyebar luas.

Para pekerja menuntut adanya jenis karier dan model karier yang baru. Apalagi teknologi dan inovasi – termasuk kognitif, kepandaian buatan, kolaborasi sosial, kumpulan orang, dan sharing ekonomi – sedang membentuk kembali ketenagakerjaan".

Yang menjadi masalahnya adalah fakta, para pekerja tidak hanya mengharapkan kompensasi finansial yang lebih baik saat ini. Mereka juga sedang mencari organisasi-organisasi dengan nilai-nilai yang sesuai, keseimbangan pekerjaan dan hidup, pekerjaan yang punya arti, otonomi kreatif, dan banyak lagi.

Akan tetapi bagaimana tepatnya hal ini mempengaruhi iklim perekrutan di Asia Tenggara? Berikut adalah 5 fakta yang Anda perlu tahu, seperti dikutip dari jobstreet, Jumat (30/6/2017):

1. Transformasi digital terus mengendalikan perekrutan

Mendukung kajian Deloitte di atas, The Star melaporkan "Transformasi digital di berbagai industri di Asia Tenggara akan terus mengendalikan perekrutan pada 2017".

Laporan ini menyoroti rangkaian kemampuan yang paling banyak diminta yaitu "big data, komputasi awan, DevOps, analisa, perdagangan elektronik, keamanan cyber, dan teknologi keuangan atau financial technology (fintech)".

Faktor-faktor yang berkontribusi untuk aktivitas perekrutan yang sehat di wilayah Asia Tenggara termasuk "pertumbuhan ekonomi yang kuat, kepercayaan bisnis yang meningkat, dan lebih banyaknya perusahaan internasional yang bergerak di wilayah tersebut”.

2. Kandidat pekerja selalu mencari ada kesempatan karier baru

Dalam suatu kajian terbaru dalam tren perekrutan di Asia tenggara oleh JobStreet.com dan JobsDB (Recruitment Trends in Southeast Asia by JobStreet.com and JobsDB), lebih dari 8.000 calon pekerja dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam diminta untuk membuat peringkat persetujuan dan ketidaksetujuan mereka akan pernyataan berikut: "Saya tidak punya rencana meninggalkan pekerjaan dan perusahaan saya saat ini di tahun yang akan datang".

Mungkin tidaklah mengejutkan, semua kandidat dengan suara bulat setuju dengan pernyataan tersebut, sedangkan hampir semua responden menunjukkan minat yang besar untuk "secara aktif memonitor dan memindai bursa kerja" pada 2017.

Tenaga Kerja yang Paling Dicari

3. Prioritas perekrutan dari para perekrut

Dalam kajian yang sama oleh JobStreet.com dan JobsDB, hampir 3.000 perekrut dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam diminta untuk mengidentifikasi prioritas perekrutan pada 2017 dari sebuah daftar yang tersedia.

Di Indonesia dan Malaysia, mayoritas perekrut memilih "mengganti dan mengisi posisi penting" sebagai prioritas perekrutan nomor satu, dengan "memperluas dan mempekerjakan lebih banyak orang" untuk urutan kedua tertinggi.

Sementara mayoritas pekerja di Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam memilih "memperluas atau mempekerjakan lebih banyak orang" sebagai prioritas tertinggi mereka pada 2017. Kecuali Singapura, tiga negara lainnya dalam kelompok ini memilih "mengganti dan mengisi posisi penting" sebagai prioritas tertinggi kedua.

4. Tenaga kerja yang paling dicari oleh para perekrut

Ketika ditanyai posisi apa yang paling sulit untuk diisi, mayoritas perekrut di Indonesia, Malaysia, dan Filipina setuju supervisor dan spesialis adalah posisi tersulit untuk diisi, sedangkan perekrut dari Singapura dan Thailand menemukan posisi junior adalah posisi tersulit untuk diisi. Vietnam, di lain sisi, mempunyai kesulitan terbesar untuk merekrut manajer.

5. Para perekrut perlu untuk menciptakan sebuah brand ketenagakerjaan digital

Sebagaimana bagian Perolehan Tenaga Kerja (Talent Acquisition) dari Laporan Deloitte akan Tren Modal Manusia Global 2017 (Deloitte 2017 Global Human Capital Trends Report) tunjukkan, para perekrut perlu untuk:

"Menciptakan sebuah brand ketenagakerjaan digital: segala sesuatu yang sebuah organisasi lakukan dalam dunia yang terhubung secara sosial dan digital mempengaruhi keputusan kandidat untuk bekerja di sana. Pastikan Anda memonitor dan meluruskan pesan melalui situs-situs dan pengalaman-pengalaman

Hal ini membawa kita kembali kepada pesan di awal artikel ini kalau membuat para perekrut untuk mempunyai standar yang lebih tinggi sekarang, karena kita bisa.

Jika organisasi-organisasi ingin untuk menjaga daya saing dan efisiensi operasional mereka, mereka akan perlu untuk terus menyesuaikan dengan transformasi digital yang ada di sekitar kita.

Deloitte juga mengimbau para perekrut untuk "memperluas dan menambah saluran sumber ketenagakerjaan" dengan membuka saluran-saluran tenaga kerja untuk sumber non-tradisional, termasuk paruh-waktu, pekerja lepas, dan pekerja musiman.

Waktu terus berubah, dan para perekrut perlu untuk merangkul revolusi digital untuk tetap bersaing sebagai seorang perekrut, apalagi sebagai suatu bisnis. Akan tetapi, para pekerja dan kandidat pekerja sebaiknya tidak cepat merasa puas, terus menyesuaikan dengan peralatan teknologi dan tren terkini merupakan hal yang paling penting sekarang lebih dari sebelumnya.

 

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: