Sukses

Krisis Ekonomi dan Awal Mula Keterbukaan Informasi Keuangan

Pada 2008, Amerika Serikat (AS) berhasil membuktikan bahwa satu bank yakni UBS Swiss menjadi tempat penyembunyian aset keuangan wajib pajak.

Liputan6.com, Jakarta - Krisis keuangan global 2008 menghantam perekonomian di banyak negara, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Atas hal tersebut, negara-negara itu pun berupaya memperbaiki kebijakan fiskal guna memperbaiki keuangan negara yang terpukul.

Alhasil, kebijakan fiskal yang diambil ialah memobilisasi sumber daya domestik termasuk di dalamnya pajak. Hal ini menjadi latar belakang pertukaran informasi perpajakan atau dikenal Automatic Exchange of Information (AEoI).

Dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani menerangkan, sumber daya domestik (pajak) sering merosot karena beberapa sebab. Di antaranya karena praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion) oleh para wajib pajak.

Wajib pajak yang melakukan penghindaran dan pengelakan pajak tersebut memanfaatkan kelemahan akan keterbatasan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, baik dalam satu negara maupun negara lain.

"Salah satu modus, menghindari atau mengelak pajak dengan menggeser keuntungan atau profit dan menyimpan aset hasil kegiatan ekonomi di negara-negara disebut suaka pajak atau tax haven atau dikenal offshore financial center," kata dia di Komisi XI DPR Jakarta, Senin (17/7/2017).

Menurut Boston Consultant Group, di 2013 terdapat aset masyarakat dunia sebanyak US$ 8,5 triliun yang berasal dari negara-negara Eropa Barat dan Asia Pasifik. Aset tersebut disembunyikan di suaka pajak seperti Swiss, Hong Kong, Singapura, Panama, Luxemburg, dan Uni Emirat Arab.

Sementara, pada 2008, Amerika Serikat (AS) berhasil membuktikan bahwa satu bank yakni UBS Swiss menjadi tempat penyembunyian aset keuangan wajib pajak AS.

"Menurut investigasi Federal Bureau of Investigation (FBI) disebutkan bahwa aset keuangan disembunyikan untuk menghindari pajak oleh wajib pajak AS," ujar dia.

Dari kasus itu, pemerintah AS kemudian mengenakan denda US$ 700 juta ke UBS Swiss dan mewajibkan bank itu mengungkapkan informasi lebih dari 5.000 rekening milik wajib pajak AS kepada lembaga perpajakan AS atau dikenal Internal Revenue Service (IRS).

Sejalan dengan itu, AS pun mengeluarkan kebijakan yang disebut Foreign Account Tax Compliance Act (FACTA) pada 2010. Kebijakan ini bersifat unilateral di mana semua institusi yang beroperasi dan menerima dana wajib pajak AS memberikan informasi ke IRS.

"Di mana kebijakan tersebut mengharuskan semua lembaga keuangan asing atau foreign financial institution untuk memberikan informasi tentang nasabah mereka yang merupakan warga AS ke IRS," ungkap dia.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

G20

Pembicaraan di G20

Masalah perpajakan juga kemudian menjadi sorotan negara dengan perekonomian besar di dunia yang tergabung dalam G20. Pada pertemuan G20 di London atau London Summit pada 2009, para pemimpin G20 mendeklarasikan agar melakukan tindakan pada negara yang tidak kooperatif pada transparansi khususnya di bidang perpajakan. Termasuk kepada negara-negara yang masuk kategori suaka pajak.

"Para pemimpin negara G20, tahun 2009 tersebut siap memberlakukan sanksi dalam rangka melindungi keuangan negara masing-masing dan sistem keuangan mereka," ujar dia.

Dalam pertemuan itu juga dideklarasikan bahwa era kerahasiaan perbankan telah berakhir untuk kepentingan perpajakan.

Tindak lanjut deklarasi itu, pemerintah Indonesia ikut menandatangani Multilateral Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC) pada tahun 2011. Itu adalah perjanjian internasional yang bersifat multilateral untuk kerjasama bantuan administrasi bidang perpajakan, termasuk pertukaran informasi perpajakan.

"Sejak penandatanganan MAC pada tahun 2011 tersebut Indonesia telah terikat untuk melakukan pertukaran informasi sesuai standar internasional termasuk untuk melakukan Automatic Exchange of Financial Information atau AEoI yang diatur dalam Pasal 6 dari perjanjian MAC tersebut," jelas Sri Mulyani.

Pada September 2013, para pemimpin G20 kembali melakukan pertemuan di St Petersburg. Dalam pertemuan itu, Indonesia menyatakan dukungan pada Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bekerjasama dengan G20 membentuk standar global tunggal untuk melaksanakan pertukaran informasi perpajakan secara otomatis.

Sri Mulyani bilang, G20 kemudian mendorong OECD membentuk Global Forum on Transperancy and Exchange of Infomation for Tax Purpose atau dikenal Global Forum. Global Forum bertujuan menerbitkan Common Reporting Standard (CRS). CRS adalah standar untuk mengumpulkan data, melaporkan data, dan informasi perpajakan antar negara.

Saat ini Global Forum beranggotan 142 negara termasuk Indonesia yang berfungsi mengawasi pelaksanaan pertukaran informasi di bidang perpajakan agar sesuai dengan standar pertukaran internasional yang disepakati, termasuk pelaksanaan AEoI.

"CRS adalah sistem pelaporan yang didesain untuk digunakan di dalam pertukaran rekening keuangan secara otomatis antara pejabat yang berwenang antar negara atau antar yuridiksi yang terkait perjanjian internasional," jelas dia.

Pertemuan G20 kembali digelar di Brisbane pada November tahun 2014. Pertemuan yang pertama kali dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepakat mengimplementasikan AEoI yang telah dirintis oleh pertemuan G20 dan disetujui pemimpin sebelumnya. Lebih lanjut, implementasi AEoI sendiri bersifat resiprokal berdasarkan CRS yang berlaku pada tahun 2017 dan 2018.

"Kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk penandatangan Multilateral Competent Autority Agreement (MCAA) sebagai kerangka hukum multilateral untuk mengimplementasikan AEoI," sambungnya.

Hingga akhir Juni 2017, sebanyak 101 negara berkomitmen untuk ikut serta AEoI. 50 negara bahkan sepakat untuk mulai menerapkan pada September 2017. Sisanya 51 negara pada September 2018.

"Komitmen tersebut harus dituangkan dalam bentuk kesepakatan MCAA maupun dalam bentuk Bilateral Competent Autority Agreement (BCAA)," ucapnya.

Legalisasi

Legalisasi primer

Untuk menciptakan kesetaraan (level plying field) maka semua negara yang menyatakan komitmen untuk impelementasi AEoI harus mengamandemen undang-undang (UU) atau membentuk UU baru mengenai AEoI.

Pada pertemuan G20 di China 2016, negara G20 menyetujui kriteria yang diajukan OECD terkait identifikasi negara dalam konteks transpransi yakni masuk kategori noncategory jurisdiction. Pada pertemuan tersebut Indonesia mendukung dan mengajak negara di seluruh dunia termasuk negara tax haven turut berpartisipasi dalam implementasi AEoI.

Pada pertemuan G20 di Hamburg Juli 2017, petinggi negara sepakat jika implementasi AEoI paling lama September 2018. "G20 juga menerima laporan dari OECD mengenai negara yang masuk di dalam kategori noncooperative juridiction dan meminta OECD untuk memperbaharui hasil penilaian tersebut pada pertemuan ditingkat tinggi selanjutnya," ungkap Sri.

Sri Mulyani mengatakan syarat pokok AEoI ialah tersedia legislasi domestik yakni legislasi primer yakni setingkat UU. Serta legislasi sekunder yakni peraturan di bawah UU.

"Legislasi tersebut harus berisi kewajiban dari lembaga keuangan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi keuangan kepada otoritas perpajakan masing-masing negara atau yurisdiksi," terangnya.

Legislasi primer tersebut juga harus memberikan kewenangan kepada otoritas perpajakan untuk menukarkan informasi tersebut dengan negara atau yurisdiksi mitranya. Legislasi primer dan sekunder tersebut sesuai kesepakatan Global Forum pada pertemuan tahun 2016 di Georgia harus telah tersedia paling lambat 30 Juni 2017.

Sri menjelaskan, jika suatu negara tidak memiliki kerangka hukum tersebut sampai 30 Juni 2017 maka negara itu dianggap tak memiliki komitmen melaksanakan AEoI.

"Sebelum Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingn Perpajakan yang baru diundangkan pada tanggal 8 Mei 2017 Indonesia dianggap belum memiliki legislasi primer yang memuat ketentuan, yang mewajibkan lembaga keuangan mengumpulkan dan melaporkan kepada otoritas pajak yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Baik implementasi AEoI maupun kepentingan domestik," tandas dia.