Liputan6.com, Jakarta - Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Industri (Himki) menolak pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Lantaran sertifikasi ini dikenakan pada kayu sebagai bahan baku hingga yang telah diolah menjadi produk furnitur dan sebagainya.
Ketua Umum Himki Soenoto mengatakan, ‎kebijakan tersebut tidak masuk akal karena seharusnya pemberlakuan SVLK cukup di sisi hulu saja sehingga tidak perlu sampai ke hilir atau produk jadi.
"Tidak masuk akal kalau melakukan sertifikasi dua kali untuk benda yang sama. Jika di hulu sudah dapat SVLK, buat apa di hilir pakai SVLK lagi," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (20/7/2017).
Advertisement
Baca Juga
Dia menjelaskan, para pembeli dari Uni Eropa tidak pernah ada yang meminta SVLK kepada produsen furnitur Indonesia. Sedangkan, Uni Eropa juga tidak pernah memaksakan untuk menerapkan SVLK ke produk furnitur China dan Vietnam.
"Oleh karena itu, tidak heran jika ekspor furnitur China dan Vietnam ke Uni Eropa cukup besar," lanjut dia.
‎‎
Soenoto mengungkapkan, para eksportir mebel dan furnitur di Tanah Air merasa keberatan dengan pemberlakuan SVLK ini. Sebab, menurut dia, persoalan legalitas kayu ini diselesaikan dengan pendekatan hukum dan bukan membuat regulasi baru yang memberatkan pelaku usaha.
Dia menuturkan, pemberlakuan SVLK hanya akan menambah beban bagi pelaku UKM karena menelan biaya yang tidak murah. Untuk mengurus SVLK, pelaku usaha harus mengeluarkan uang sekitar Rp 19 juta-Rp 30 juta.
"Hal ini justru akan menurunkan daya saing produk furnitur Indonesia dan akhirnya ekspor furnitur bakal merosot drastis. Target ekspor furnitur sebesar US$ 5 miliar nantinya tidak akan tercapai dan Indonesia akan semakin ketinggalan dengan China dan Vietnam," ujar dia.
Â
Â
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Â
Â
Â