Sukses

Keran Ekspor Biji Nikel Dibuka, Industri Smelter Bisa Bangkrut

20 fasilitas pemurnian (smelter) nikel menghentikan kegiatan operasinya.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menyatakan, 20 fasilitas pemurnian (smelter) nikel menghentikan kegiatan operasinya. Hal ini akibat dibukanya kembali keran ekspor bijih nikel sehingga menekan harga di dalam negeri.

Wakil Ketua AP3I, Jonatan Handojo mengatakan, sejak adanya Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ada 32 smelter baru yang muncul. Dari jumlah tersebut, 25 di antaranya adalah smelter nikel dengan nilai investasi mencapai US$ 18 miliar.

"Namun, dari 25 smelter tersebut, hanya ada 2 smelter yang masih bisa digolongkan dalam keadaan sehat dan sisanya harus terseok-seok untuk menjalankan kegiatan operasinya," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (21/7/2017).

Kebijakan pemerintah yang kembali membuka keran ekspor bijih nikel kadar rendah, lanjut dia, telah menekan harga. Hal tersebut membuat investasi smelter tidak ekonomis.

"Harga pokok produksi (HPP) smelter nikel dengan teknologi blas furnace sekitar US$ 9.600 per ton. Adapun smelter listrik HPP-nya di kisaran US$ 9.800 per ton," kata dia.

Saat ini harga nikel bergerak di kisaran US$ 9.600 per ton dan sempat berada di bawah US$ 9.000 per ton pada akhir Mei hingga Juni lalu. Sedangkan idelanya, harga nikel di Indonesia sekitar US$ 11.000.

"Pernah sampai segitu sekitar November sampai Desember lalu, tapi anjlok gara-gara ada relaksasi di Januari," lanjut dia.

Jonatan menambahkan, pihaknya telah satu suara dengan pihak Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terkait penolakan terhadap pelonggaran ekspor mineral mentah. Bahkan, surat bersama yang berisi keluhan AP3I dan usulan BKPM telah disusun bersama.

"Kami menyusun surat bersama. Jadi, keluhannya AP3I akan dirangkum dan disampaikan oleh Pak Thomas Lembong kepada Presiden dan BKPM tidak ingin investasi yang telah masuk ke Indonesia terganggu," jelas dia.

Sedangkan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transortasi, dan Elektronika (Ilmate) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, pihaknya dan Kementerian ESDM telah membentuk tim koordinasi untuk mulai menjaga ekspor mineral.

"Pokoknya pemerintah menjaga industri smelter yang sudah investasi di sini itu tetap mendapat pasokan bahan baku. Kalau mau ekspor, rekomendasi di Kementerian ESDM tapi kami ikut diinformasikan," ungkap Putu.

Dia menjelaskan, saat pemerintah menutup ekspor mineral mentah pada 2013, investor logam dasar asal Tiongkok mulai membanjiri Tanah Air karena mereka kekurangan pasokan bahan baku. Kemenperin menilai relaksasi ekspor mineral justru akan membuat investor lari.

Sedangkan selama ini, ekspor mineral mentah hanya membutuhkan rekomendasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tanpa mempertimbangkan kebutuhan industri nasional. Dengan demikian, harga nikel tidak lagi sesuai nilai keekonomian industri pemurnian dan peleburan (smelter).

"Kami akan memberikan masukan pada Kementerian ESDM sehingga menjadi referensi dalam memberikan rekomendasi ekspor," tandas Putu.

Tonton Video Menarik Berikut Ini: