Liputan6.com, Jakarta - Kajian terbaru dari QBE Insurance menunjukkan sebagian besar perusahaan Indonesia tidak memiliki kesiapan untuk menghadapi krisis.
Hanya 54 persen dari perusahaan-perusahaan yang disurvei memiliki asuransi tanggung gugat bisnis antara lain tanggung gugat pihak ketiga, tanggung gugat publik, gangguan usaha, tanggung gugat produk, tanggung gugat cyber, tanggung gugat pemberi kerja, tanggung gugat dewan direksi dan tim manajemen, atau jaminan indemnitas profesi.
Kajian QBE yang diberi judul "Harga Sebuah Penyesalan" ini didasarkan pada wawancara 300 UKM dan perusahaan skala besar di Indonesia. Wawancara yang berlangsung pada April dan Mei 2017 ini berfokus pada berbagai risiko bisnis, baik yang ada sekarang maupun di masa depan. Selain itu, kajian ini juga memuat temuan tentang berbagai peluang dan persiapan perusahaan untuk menanggulanginya.
Advertisement
Baca Juga
"Salah satu temuan penting dalam laporan ini adalah perusahaan di Indonesia memerlukan lebih banyak edukasi. Dengan tidak memiliki asuransi tanggung gugat, perusahaan-perusahaan kehilangan kesempatan untuk memberikan kompensasi, serta berpotensi menempatkan bisnis, konsumen, dan masyarakat umum dalam risiko yang lebih tinggi," kata Aziz Adam Sattar, Presiden Direktur QBE General Insurance Indonesia (QBE Indonesia), seperti ditulis Minggu (23/7/2017).
Dalam 12 bulan terakhir, risiko yang paling sering ditemui adalah: kehilangan pendapatan karena gangguan usaha (32 persen); inventaris yang hilang atau rusak (23 persen); kerusakan peralatan (22 persen); peretasan sistem bisnis dan komputer (20 persen); kerusakan bangunan perusahaan (20 persen); kecelakaan kerja (20 persen); dan penipuan melalui internet (10 persen)
"Risiko-risiko ini dihadapi oleh perusahaan yang berada pada lingkungan dengan tantangan bisnis yang semakin besar. Berdasarkan kajian, kami menemukan bahwa 31 persen dari perusahaan-perusahaan Indonesia menerima tuntutan hukum karena masalah produk atau layanan mereka pada tahun lalu," tambah Sattar.
Kurangnya pemahaman berimbas pada rendahnya kepemilikan asuransi
Penelitian dari QBE menemukan hampir semua perusahaan di Indonesia paham dan memiliki asuransi bisnis umum dalam bentuk yang berbeda-beda. Namun ketika ditanya mengenai asuransi tanggung gugat bisnis, tingkat pemahaman turun menjadi 68 persen.
Persentase pemahaman dan kepemilikan asuransi ini pun turun lagi ketika perusahaan ditanya mengenai asuransi tanggung gugat dewan direksi dan tim manajemen, dengan 35 persen paham dan 26 persen memiliki; sedangkan di sisi asuransi indemnitas profesi, tingkat kepahaman mencapai 30 persen dan tingkat kepemilikan 17 persen. Di sisi asuransi tanggung gugat publik dan produk, tingkat kepahaman adalah 24 persen dan tingkat kepemilikan 16 persen.
Alasan untuk tidak memiliki asuransi tanggung gugat bisnis
Ketika ditanya mengenai apa yang menyebabkan mereka tidak memiliki asuransi tanggung gugat bisnis atau asuransi indemnitas profesi, 41 persen dari perusahaan menjawab mereka memiliki anggaran yang terbatas.
26 persen dari mereka menyatakan mereka memiliki prioritas bisnis lain; 24 persen menyatakan skala bisnis mereka terlalu kecil untuk memerlukan asuransi; dan 28 persen menyatakan bahwa polis asuransi terlalu rumit. 19 persen menyatakan, mereka tidak pernah terpikirkan untuk memiliki asuransi tanggung gugat bisnis.
"Sangat mengkhawatirkan bahwa banyak perusahaan tidak sadar akan adanya berbagai risiko finansial yang mungkin timbul karena tidak memiliki asuransi tanggung gugat. Banyak perusahaan juga berpikir bahwa asuransi tersebut hanya untuk perusahaan skala besar. Jelas, mereka kurang menyadari dan memahami bahwa produk asuransi memiliki polis perlindungan finansial," ujar Sattar.
Risiko Hanya Terlihat Jika Terlanjur Terjadi
Risiko hanya terlihat jika terlanjur terjadi
Kajian QBE juga menemukan kecenderungan perusahaan baru melindungi dirinya setelah mengalami suatu insiden. Dari seluruh perusahaan Indonesia yang menjadi korban penipuan melalui internet, hanya 54 persen yang mengambil langkah perlindungan paska kejadian, dengan 25 persen perusahaan mentransfer risiko tersebut ke asuransi tanggung gugat bisnis, dan 7 persen tidak mengambil langkah perlindungan sama sekali.
Di insiden lainnya, reaksi paska kejadian pun serupa: kecelakaan kerja (48 persen bereaksi paska kejadian dengan 25 persen memilih asuransi tanggung gugat publik, dan 7 persen tidak mengambil langkah perlindungan); isu tanggung gugat publik atau pihak ketiga yang disebabkan oleh barang atau jasa (42 persen bereaksi paska kejadian dengan 20 persen memilih asuransi tanggung gugat publik, dan 12 persen tidak mengambil langkah sama sekali); isu tanggung gugat publik atau pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan atau kelalaian pihak perusahaan (42 persen bereaksi paska kejadian, dengan 14 persen memilih asuransi tanggung gugat publik dan 11 persen tidak mengambil langkah sama sekali).
"Kami berharap kepemilikan asuransi tanggung gugat bisnis akan meningkat dalam waktu dekat," kata Sattar.
Ia menambahkan, ekonomi Indonesia tumbuh dengan cepat dan telah menjadi anggota penting di komunitas ASEAN. Dengan meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah, pihaknya melihat perubahan pemikiran di kalangan pengusaha dan karyawan karena mereka telah memahami pentingnya pengelolaan risiko – tidak hanya untuk mengurangi kerugian finansial, tetapi yang lebih penting untuk menunjukkan bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab sosial.
Konsumen Indonesia menjadi lebih paham mengenai hak-hak hukum, yang menghadapkan perusahaan pada kompensasi finansial yang lebih besar jika gagal memberikan layanan atau tidak menyediakan lingkungan kerja yang aman.
Walaupun ada tantangan, masa depan terlihat cerah
Pemimpin perusahaan yang disurvei di Indonesia memiliki pandangan positif terhadap lingkungan bisnis untuk 12 bulan ke depan. Hampir setengah (46 persen) dari seluruh perusahaan mengharapkan kemajuan teknologi dan inovasi, dan 29 persen memperkirakan peningkatan investasi teknologi akan mempengaruhi bisnis mereka dalam 12 bulan ke depan.
Hampir sepertiga (31 persen) menjawab akan ada permintaan yang besar untuk layanan personal untuk produk dan jasa, terutama di bidang kesehatan, serta layanan bisnis dan jasa konsultan profesional. Sebagian besar responden menganggap perubahan ini sebagai sesuatu yang positif.
Laporan ini juga menemukan bahwa 29% perusahaan sedang mempersiapkan diri untuk persaingan yang ketat dari pendatang baru ke industri mereka, terutama industri manufaktur dan jasa keuangan.
Pada saat yang sama, sekitar sepertiga dari bisnis menyatakan ekspansi bisnis (39 persen), teknologi dan sistem (37 persen), perlindungan risiko dan bencana (35 persen) dan peraturan dan perundangan baru (33 persen) merupakan tantangan terbesar mereka saat ini.
Sattar mengatakan, tren pasar yakni investasi teknologi baru, layanan yang semakin personal, dan kompetisi yang semakin ketat tidak hanya menghadirkan peluang bagi perusahaan, namun juga membawa risiko baru.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Advertisement