Sukses

Buruh Tolak Sri Mulyani Ubah Batas Gaji Bebas Pajak

Buruh menolak revisi batas penghasilan tidak kena pajak menjadi berbasis upah minimum provinsi lantaran dapat melemahkan daya beli.

Liputan6.com, Jakarta - Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak revisi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 4,5 juta per bulan saat ini menjadi berbasis Upah Minimum Provinsi (UMP) di daerah. Alasannya, perubahan aturan ini akan semakin melemahkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk buruh.

Presiden KSPI, Said Iqbal menilai rencana mengubah batas gaji bebas pajak berdasarkan UMP lebih parah dibanding PTKP sebelumnya yang sebesar Rp 3 juta per bulan atau Rp 36 juta setahun. Artinya, batas PTKP ke depan berpotensi kurang dari Rp 3 juta per bulan.

"Buruh menolak keras rencana Bu Sri Mulyani menurunkan PTKP," ujar dia saat Konferensi Pers di kantor LBH Jakarta, Senin (24/7/2017).

Said mencontohkan, upah minimum provinsi (UMP) di Jawa Tengah sekarang ini Rp 1,3 juta per bulan. Apabila mengikuti UMP, berarti pemerintah menurunkan PTKP dari Rp 4,5 juta per bulan menjadi Rp 1,3 juta per bulan.

"Kalau buruh lembur sedikit dengan tambahan upah Rp 100 ribu-Rp 200 ribu, berarti kan gaji mereka naik misalnya jadi Rp 1,32 juta, berarti kan itu sudah kena pajak," tutur dia.

"Ini seperti rentenir, pemerintah bak kompeni yang memajaki rakyat kecil, merugikan pegawai. Pekerja yang menerima upah pasti akan sangat terdampak signifikan dari kebijakan tersebut," Said menambahkan.

Said beralasan, buruh yang tergabung KSPI menolak revisi PTKP berdasarkan UMP karena beberapa faktor. Pertama, penurunan batas gaji bebas pajak akan melemahkan daya beli kaum buruh. Dia menuturkan, daya beli buruh formal dan informal saat ini sedang turun.

"Sekarang saja daya beli buruh dan masyarakat masih rendah, terlihat dari penjualan mobil dan motor yang turun masing-masing 5,7 persen dan 7 persen. Ini malah mau ditambah lagi menurunkan PTKP. Upah tidak naik, tapi mau dipajaki," tutur Said.

Alasan kedua, Said menganggap pemerintah akal-akalan untuk meningkatkan penerimaan pajak, salah satunya dengan menurunkan PTKP. Padahal, penerimaan pajak bisa diperoleh melalui upaya ekstensifikasi dan intensifikasi wajib pajak. Contohnya harta-harta orang Indonesia yang selama ini diparkir di luar negeri.

"Kenapa harta orang Indonesia Rp 4.000 triliun tidak dipajaki, malah orang kecil yang dipajaki. Ini mencederai keadilan," ucap Said.

Ia berpendapat, batas gaji bebas pajak di Indonesia Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta setahun tidak bisa dibandingkan apple to apple dengan Thailand atau Malaysia. Kedua negara tersebut, sebabnya sudah mencatatkan pendapatan per kapita lebih tinggi dibanding Indonesia.

"Menurut ILO Jakarta, upah rata-rata di Thailand US$ 357, Malaysia US$ 560, Filipina US$ 206, dan Indonesia US$ 174. Upah paling rendah di antara negara-negara ASEAN, tapi PTKP mau diturunkan. Kami menolak pemerintah menurunkan PTKP," ujar Said.

 

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: