Sukses

Benarkah Indonesia Darurat Utang? Ini Penjelasan Lengkapnya

Utang pemerintah Indonesia tercatat senilai Rp 3.706,52 triliun hingga Juni 2017.

Liputan6.com, Jakarta Utang pemerintah Indonesia tercatat senilai Rp 3.706,52 triliun hingga Juni 2017. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah menambah utang sebesar Rp 1.166 triliun di periode 2015-2017 yang diklaim penggunaannya untuk kegiatan produktif, seperti membangun infrastruktur, belanja pendidikan, kesehatan, sampai dengan meningkatkan perlindungan sosial.

Dengan posisi utang Rp 3.706,52 triliun, benarkah utang Indonesia ini sudah tanda lampu merah atau darurat utang?

Dikutip dari data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Jumat (28/7/2017), saat ini kebutuhan pembangunan di Indonesia sangat besar dan mendesak. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Tanah Air masih lebih rendah dibanding sejumlah negara.

Data menunjukkan, pada 2015, IPM di Indonesia 0,689 lebih rendah dari Thailand, Malaysia, Singapura, bahkan Brasil dan Meksiko. Oleh karenanya, pemenuhan pendidikan, kesehatan, dan fasilitas dasar menjadi prioritas utama untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang produktif dan kompetitif.

Krisis ekonomi yang melanda dalam kurun waktu 1998-1999 menyebabkan Indonesia berbenah mengelola dampak krisis agar perekonomian tetap stabil, serta memastikan lembaga keuangan sehat dan kuat.

Untuk fokus bangkit dari keterpurukan, Indonesia harus menunda pembangunan infrastruktur selama hampir 20 tahun. Tak heran bila penyediaan infrastruktur di Indonesia masih di bawah rata-rata negara lain yang setara.

Ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Inilah yang menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disusun untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan tidak dapat ditunda. Sementara penerimaan negara belum cukup memenuhi seluruh kebutuhan tersebut sehingga menimbulkan defisit yang harus ditutupi melalui pembiayaan untuk belanja produktif.

Dalam APBN, belanja produktif meliputi 20 persen anggaran pendidikan dan 5 persen anggaran kesehatan, serta anggaran mengejar pembangunan infrastruktur. Sebelum direvisi, masing-masing anggaran di APBN 2017 sebesar Rp 416,1 triliun, Rp 104 triliun, dan anggaran infrastruktur Rp 387,3 triliun.

Anggaran infrastruktur dalam lima tahun terakhir tercatat mengalami kenaikan signifikan. Dari 2012, yang hanya Rp 140,8 triliun menjadi Rp 387,3 triliun. Sedangkan pembiayaan utang sebesar Rp 384,7 triliun untuk belanja produktif ini justru turun dibanding tahun lalu Rp 403 triliun dan Rp 380,9 triliun di 2015.  

Dari data World Economy Outlook-IMF 2017, Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan rata-rata defisit rendah -1,6 persen dibanding negara lain meski rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,6 persen dalam satu dekade terakhir dibanding Kanada, Turki, Argentina, Brasil sampai AS.

Dengan kata lain, tambahan utang menjadi lebih kecil dibanding tambahan manfaat yang diperoleh. Inilah yang disebut utang dikelola dengan baik, terjaga, dan hati-hati.

2 dari 2 halaman

Rasio Utang Rendah dibanding Negara Lain

Rasio Utang Rendah dibanding Negara Lain

Bila dibanding negara lain, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB dan tingkat per kapita, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rendah nilainya di kawasan regional maupun dunia. Utang pemerintah memang meningkat. Namun perbandingannya dengan PDB, utang Indonesia masih tetap terkendali.

Nilai utang Rp 3.706 triliun diklaim masih di bawah 30 persen terhadap PDB. Sementara negara lain di dunia, seperti Turki di tahun lalu saja, rasionya 29 persen dari PDB. Thailand 42 persen dari PDB.

Malaysia bahkan sudah menumpuk utang dengan rasio 56 persen terhadap PDB di 2016. Sementara Jepang dan Amerika Serikat (AS) masing-masing rasio utangnya sudah mencapai 239 persen dan 107 persen terhadap PDB.

Saat ini, tiga lembaga pemeringkat rating internasional menggolongkan Indonesia sebagai negara layak investasi (investment grade). Hal ini mencerminkan, Indonesia dianggap mempunyai kemampuan bayar yang tinggi dengan risiko gagal bayar yang sangat rendah.

Rasio beban bunga terhadap belanja Indonesia 8,3 persen relatif lebih rendah dibanding negara-negara setara, seperti Meksiko 9,7 persen, Filipina 16,7 persen, Mesir 24,3 persen, dan Brasil 33,2 persen.

Rasio beban bunga terhadap total outstanding pada 2015, capaian Indonesia 4,7 persen atau lebih baik daripada Filipina 5,5 persen, Turki 6,6 persen, Meksiko 6,7 persen, Mesir 8,8 persen, dan Brasil 18 persen.

Sementara rasio beban bunga terhadap total pendapatan dan hibah Indonesia pada 2015 sebesar 9,9 persen, relatif lebih baik dari Meksiko 11,4 persen, Filipina 13,8 persen, Mesir 23,9 persen, dan Brasil 34 persen.

Pemerintah akan terus melakukan reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan negara dan menjaga keberlangsungan keuangan negara. Kondisi ini menciptakan ketahanan dan kesinambungan fiskal.

Melalui pengelolaan utang yang hati-hati dan pertumbuhan ekonomi yang tetap terjaga, maka lapangan kerja akan tercipta. Buktinya jumlah orang yang bekerja naik dari 112,76 juta orang menjadi 118,41 juta orang selama kurun waktu 2013-2016.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah akan terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit anggaran sesuai aturan perundangan dan dilakukan secara hati-hati, profesional, dan bijaksana.

Tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan utang global yang dianut seluruh negara di dunia supaya Indonesia terus maju, sejahtera, tapi tetap menjaga risiko keuangan dan utangnya.

"Utang adalah untuk investasi manusia, investasi infrastruktur. Ini adalah untuk membuat Indonesia menjadi makin kuat, sejahtera, sehingga aspek untuk membayar kembali terjaga," tukas Sri Mulyani.Â