Sukses

Soal Kasus Komika Acho, YLKI Minta Tak Ada Kriminalisasi Konsumen

YLKI menganggap Acho hanya menuntut haknya sebagai konsumen

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai, komedian Muhadkly MT atau yang akrab disapa Acho hanya menuntut haknya sebagai konsumen. Dia meminta kriminalisasi konsumen harus dihentikan.

Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, curhatan Acho dalam website-nya tidak terdapat potensi pelanggaran yang dilakukan konsumen. Khususnya, dalam perspektif Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurutnya, dia hanya mengutarakan keluhan mengenai haknya yang tak dipenuhi oleh pelaku usaha, yaitu pengembang Green Pramuka. Acho menulis di media sosial, lanjut Tulus, karena dinilai pengaduan langsung tak menemui titik temu.

"Apa yang ditulis/disampaikan konsumen adalah upayanya untuk merebut hak-haknya, yang diduga dilanggar oleh pelaku usaha, pengembang Green Pramuka. Bahwa konsumen kemudian menulisnya di media sosial, sebab dipandang pengaduan-pengaduan serupa sudah mampet, tidak mendapatkan respons memadai dari pihak manajemen Green Pramuka," kata dia dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Minggu (6/8/2017).

Menurut Tulus, apa yang dilakukan Acho sudah sesuai haknya yang diatur oleh UU Perlindungan Konsumen, bahwa konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya. "Termasuk menyampaikan keluhan dan pendapatnya via media massa, dan media sosial. Yang penting, yang disampaikan konsumen fakta hukumnya sudah jelas, bukan fiktif (hoax), yang berpotensi fitnah," sambung dia.

Menurutnya, tindakan yang dilakukan oleh pengembang berlebihan. Tulus bilang, itu bertentangan dengan perlindungan konsumen.

"Dengan demikian, tindakan polisional oleh Green Pramuka pada konsumen adalah tindakan yang berlebihan, dan bahkan arogan, dan tindakan yang kontra produktif untuk perlindungan konsumen di Indonesia, yang membuat konsumen takut untuk memperjuangkan konsumennya secara mandiri. YLKI mengecam segala bentuk kriminalisasi oleh dilakukan developer yang bertujuan untuk membungkam daya kritis konsumen. YLKI  juga mengkritik polisi, yang bertindak cepat jika yang mengadu adalah pihak pengembang, tapi bertindak lamban jika yang mengadu masyarakat," jelas dia.

2 dari 2 halaman

Rekomendasi YLKI


Rekomendasi YLKI

1. Agar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Perumahan, harus tegas menyikapi pelanggaran hak konsumen (penghuni) yang dilakukan oleh pengelola dan pengembang. Kementerian PU-PR dan Pemprov DKI tidak bisa lepas tanggungjawab terhadap maraknya pelanggaran konsumen oleh pengelola/pengembang apartemen. YLKI mendesak Dinas Perumahan Pemprov DKI untuk proaktif  memfasilitasi mediasi antara konsumen dengan developer, untuk dapat dicari penyelesaian di luar pengadilan (out of court setlement).

2. Mendesak Kementerian PU-PR untuk me-review semua klausula yang dibuat oleh pengembang/pengelola, baik klausula dalam PPJB/AJB rumah susun dan klausula dalam kontrak pengelolaan. Klausula baku adalah hal yang dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen

3. Hentikan segala bentuk intervensi pengelola/pengembang dalam pembentukan P3SRS dan pengelolaan. Intervensi yg biasa dilakukan oleh pengelola biasanya melalui tekanan psikis, diskriminasi perlakuan, hingga perampasan HAM konsumen. Pengelola idealnya ditunjuk dan dipilih  oleh P3SRS. Jadi akan profesional dan tunduk perintah P3SRS bukan sebaliknya. Developer hanya setengah hati untuk melepas pengelolaannya.

4. YLKI mendesak semua pengembang perumahan/apartemen untuk menjunjung tinggi etika dalam bisnis, dan mematuhi regulasi, termasuk regulasi di bidang konsumen, khususnya dalam berpromosi, beriklan. Jangan membius dengan janji-janji yang bombastis, irasional, dan bahkan manipulatif.

5. Kepada masyarakat konsumen, terhadap kejadian ini, jangan menyurutkan niatnya untuk bersikap kritis. Namun konsumen tetap harus waspada dan hati-hati, misalnya, tetap berkomunikasi dengan pihak pelaku usaha/pelaku usaha/pengelola, sebelum kasusnya ditulis di media sosial. Dan dari sisi fakta hukum, yang disampaikan konsumen adalah bukan fiktif, hoax.