Liputan6.com, Jakarta - Arus perubahan zaman membawa gaya hidup belanja masyarakat bergeser dari yang sifatnya konvensional menuju pada transaksi online di toko-toko virtual. Sayangnya, pemerintah Indonesia tidak memiliki data transaksi perdagangan online (e-commerce) yang pasti, sehingga tidak mampu menghitung dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Kepala BPS, Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengungkapkan, terjadi perubahan transaksi penjualan dari mal atau pusat perbelanjaan konvensional ke toko-toko online. Biasanya dilakukan masyarakat kelas menengah ke atas.
"Ada pergeseran belanja seseorang dari mal ke toko online. Tapi untuk berapa sumbangannya ke pertumbuhan ekonomi, saya tidak bisa jawab karena tidak ada satu data yang konsisten," ujar Kecuk di kantornya, Jakarta, Senin (7/8/2017).
Advertisement
Baca Juga
Kecuk menambahkan, BPS tidak mengumpulkan data e-commerce secara khusus. Namun menurut datanya, nilai transaksi perdagangan online atau e-commerce mencapai Rp 248 triliun atau hanya 6 persen dari total transaksi.
"Ke depan kami perlu mengumpulkan data e-commerce, tapi tidak bisa sendirian. Harus bekerja sama dengan seluruh stakeholder dan swasta karena kami tidak punya spesifik soal itu, menembus batas waktu melacak yang online tidak sanggup ngurusin sendirian, jadi harus duduk bareng," ujar dia.
Ia menegaskan, BPS belum dapat mengumpulkan data online dalam kurun waktu ini kecuali ada sumber data yang pasti. Hal ini pun dialami oleh negara lain yang juga belum mampu menangkap pengaruh belanja online ke inflasi, misalnya.
"Kami tidak bisa seenaknya karena implementasinya harus menunggu guidance dari PBB, ini  harus dipatuhi semua negara. Lembaga internasional kan mengecek data, akurat atau tidak. Kalau terjadi kesalahan yang malu kan bukan cuma BPS, tapi juga negara. Beruntung, data PDB RI sudah diakui akurat dari IMF," tutur dia.
Â
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Â