Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan industri makanan dan minuman (mamin) di kuartal II-2017 sebesar 7,19 persen, melambat dibanding periode yang sama sebelumnya 8,13 persen. Konsumsi mamin pun bernasib sama dengan pertumbuhan 5,24 persen secara year on year (yoy). Penyebabnya dinilai bukan karena daya beli masyarakat yang melemah.
Pendiri GarudaFood Grup, Sudhamek AWS menganalisis hasil pertumbuhan ekonomi kuartal II ini sebesar 5,01 persen atau masih tertinggi nomor tiga di antara negara kelompok G20. Produk Domestik Bruto (PDB) itu ditopang oleh 65 persen ekonomi domestik, yakni konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, dan investasi.
"Kalau tiga sumber pertumbuhan itu melemah, pasti ekonomi kita juga melemah. Tapi buktinya ini masih bertumbuh 5 persen, ekonomi domestik masih menggeliat, karena tidak mungkin hanya kenaikan surplus neraca dagang dari ekspor impor bisa sampai mendongkrak pertumbuhan ekonomi," terangnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (7/8/2017).
Advertisement
Baca Juga
Selanjutnya, kata Sudhamek, pertumbuhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik 18 persen. Hal ini menunjukkan kenaikan transaksi penjualan sehingga tidak bisa disebut bisnis meredup.
Dari kondisi mikro, diakui Sudhamek, laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami pertumbuhan penjualan dan pendapatan, kecuali pada industri semen. Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu mencontohkan Ramayana yang kondisinya sudah memburuk, namun penjualannya dapat tumbuh positif 18 persen di semester I ini.
Indofood membukukan pertumbuhan penjualan 3 persen walaupun biasanya tumbuh dua digit, Gudang Garam lebih dari 10 persen. Dengan kata lain, Sudhamek menambahkan, banyak perusahaan mencatatkan laporan keuangan yang menggembirakan.
Begitu pun dengan industri makanan minuman, ada yang naik dan ada yang flat. Mayora termasuk yang flat, tetapi dalam 5 tahun terakhir ini, pertumbuhannya fantastis. Pertumbuhan GarudaFood hampir 20 persen. Pertumbuhan penjualan Alfamart dan Indomaret 4-5 persen, profit sedang turun karena rata-rata pertumbuhan 15-20 persen.
"Suatu bisnis pasti akan mengalami pertumbuhan melambat, itu wajar karena cycle-nya begitu. Tapi kalau dilihat data-data mikro, saya membantah kalau dibilang daya beli lemah, karena itu kan menandakan ekonomi lesu. Buktinya semua bagus, kecuali industri semen yang tumbuh negatif," kata Sudhamek.
Sudhamek menuturkan, sebuah bisnis lesu disebabkan dua faktor. Pertama, persaingan dan kedua, market size mengecil. Industri minuman di semester I ini tercatat masih negatif, tetapi di industri makanan justru kebalikannya.
"Dilihat dari kombinasi data makro dan mikro, analisa saya lebih kepada faktor persaingan. Kalau ada pengusaha yang pusing, itu karena mereka kalah dalam persaingan, tapi yang senang berarti menang dalam persaingan. Kecuali market size menurun, terjadi kelemahan," jelas dia.
Lebih jauh Sudhamek menegaskan, para pengusaha makanan dan minuman saat ini memasuki era persaingan liar dan tidak nampak. Perubahan tersebut tidak pernah dibayangkan belanja dari konvensional bergeser ke toko online.
"Mereka yang tidak tahu, selalu menyalahkan atau mengkambinghitamkan daya beli karena kalah dalam bersaing. Padahal yang terjadi adalah switching dari konvensional ke online sehingga kita harus berubah. Jadi pertumbuhan ekonomi 5 persen bukan berarti melemah," papar dia.
Ia menuturkan, Lazada, Bukalapak, Tokopedia, dan toko online lainnya mengalami pertumbuhan penjualan hingga lebih dari 100 persen. Mayoritas market space-nya merupakan produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Pertumbuhan penjualan toko online itu sampai tiga kali lipat atau lebih dari 100 persen. Tentunya toko-toko online ini merebut pasar konvensional. Tapi menurut saya ini ada pergeseran pemain besar ke menengah bawah sehingga terjadi pemerataan pendapatan. Ini gejala yang positif," terang Sudhamek.
Ia menilai, kehadiran toko-toko online merupakan ancaman yang perlu mendapat perhatian. Salah satunya dengan melakukan pembenahan, dan berinovasi agar tidak ditinggalkan masyarakat.
"Oh, online itu ancaman, makanya kita perlu inovasi seluas-luasnya, seperti strategi bisnis model dalam produk, jasa, operasi. Jadi bukan mengkambinghitamkan daya beli," pungkas Sudhamek.
Â
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Â