Liputan6.com, Jakarta
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut penurunan daya beli masyarakat Indonesia hanya bersifat musiman alias sementara. Penyebabnya bukan karena tingkat suku bunga perbankan yang terlampau tinggi, melainkan karena ada perubahan gaya hidup dari masyarakat.
"Masalahnya bukan karena suku bunga. Penurunan ini (daya beli) seasonal atau sementara saja karena perubahan lifestyle," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso di Bogor, Senin (14/8/2017).
Ia meyakini, daya beli masyarakat akan kembali meningkat di semester II-2017 ditopang dari belanja pemerintah. Seperti diketahui, laju pertumbuhan ekonomi di kuartal II sebesar 5,01 persen tertahan karena kontraksi pertumbuhan konsumsi pemerintah yang tercatat negatif 1,93 persen dibanding kuartal yang sama tahun lalu 6,23 persen.
Baca Juga
Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan tumbuh. Badan Pusat Statistik (BPS) mengindikasikan masyarakat golongan menengah atas lebih menahan belanja dan mengalihkan uangnya ke tabungan.
"(Simpanan perbankan) masih tinggi. Simpanan kan bukan hanya dari masyarakat. Kalau ada capital inflow cukup besar, maka itu akan terefleksi," tegas Wimboh.
Menurut Wimboh, tingkat bunga perbankan bukan menjadi penyebab utama daya beli masyarakat melemah. Alasannya, bunga deposito nasabah individu sudah turun, bahkan tingkat bunga kredit korporasi sudah menyentuh level satu digit. Yang masih tinggi, bunga deposito korporasi.
"Bunga deposito korporasi masih besar, ini yang justru terus didorong lebih rendah. Ada mekanisme tapi tentunya melihat mekanisme pasar yang kita tekankan dengan transparansi dari industri perbankan mengenai pricing dan lainnya," jelasnya.
Namun demikian, Ketua Dewan Komisioner OJK hingga periode 2022 itu mendukung penurunan tingkat bunga bank yang lebih rendah supaya Indonesia mampu bersaing dengan negara lain.
"Suku bunga secara umum spiritnya mungkin bisa lebih rendah, supaya ini memberikan amunisi agar kita bisa kompetisi," pungkas Wimboh.
Tonton video menarik berikut ini: