Sukses

Ekonom: Perlu Data Lapangan Saat Susun Harga Eceran Tertinggi

Ekonom Indef Rusli Abdulla menilai, terjadinya perbedaan harga terbesar disebabkan oleh perbedaan harga gabah di lapangan.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah menggodok harga eceran tertinggi (HET) komoditas beras. Dalam penyusunan HET ini, Kemendag dinilai perlu lebih banyak melihat data di lapangan.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam menampung aspirasi dari para pedagang dan petani dalam penyusunan HET sudah tepat. Namun selain mendengarkan aspirasi, Kemendag juga perlu ‎melihat data faktual yang ada di lapangan.

"Sudah tepat. Namun demikian, pemerintah harus tetap memperhatikan data faktual, selain aspirasi asosiasi petani dan pedagang," ujar dia di Jakarta, Jumat (18/8/2017).

‎Rusli menjelaskan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata harga gabah nasional Januari-Juli 2017 sebesar Rp 4.509,95 per kilogram (kg) untuk gabah kering panen dengan kadar air sekitar 18 persen dan Rp 5.470,26 per kg untuk gabah kering giling (GKG) dengan kadar air sekitar 12 persen.

"Harga gabah tersebut jauh lebih tinggi dari harga gabah yang menjadi acuan pemerintah dalam menentukan HET Rp 9.000 untuk beras medium yang terakhir berlaku, yakni Rp 4.250 per kg," kata dia.

Rusli menuturkan, terjadinya perbedaan harga terbesar disebabkan oleh perbedaan harga gabah yang saat ini di lapangan sebesar Rp 4.600 per kg. Sedangkan dari perhitungan Kementerian Pertanian (Kementan) adalah Rp 4.070 per kg.

"Saat ini tidak ada gabah di pasaran dengan harga Rp 4.070 per kg, sementara itu Kementan bersikukuh pada perhitungannya. Seharusnya pemerintah tetap memperhatikan fakta yang ada di lapangan, jangan bersikeras mematok harga," ujar dia.

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

Â