Liputan6.com, Yogyakarta - Ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil bisa menjerumuskan Indonesia ke jurang defisit energi. Sebab, pertumbuhan konsumsi energi terutama minyak dan gas tidak diikuti dengan peningkatan produksi.
Kini produksi migas nasional justru terus menurun seiring dengan cadangan yang menipis dan minimnya kegiatan eksplorasi. Menurut data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan terbukti minyak sebesar 3,6 miliar barel dengan tingkat produksi 288 juta barel per tahun diperkirakan  habis 12 tahun lagi.
Sedangkan cadangan gas sebesar 98 triliun kaki kubik (tcf) akan habis dalam 33 tahun ke depan jika rata-rata produksi tahunan 3 tcf.
"Sementara demand terhadap BBM terus meningkat, dan akhirnya kami harus mengimpor dan jumlahnya ke depan akan semakin besar," kata Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko PT Pertamina (Persero) Gigih Prakoso di acara Focus Group Discussion Pengembangan Road Map Sustainable Energy di Indonesia, Yogyakarta,  Rabu, 23 Agustus 2017.
Untuk itu, lanjut dia, solusi terbaik untuk pemenuhan energi ke depan dengan menggenjot pengembangan energi terbarukan. Selain ramah lingkungan, energi terbarukan juga bisa membawa Indonesia menuju ketahanan dan kemandirian energi sebab sumber cadangan energi ini sangatlah melimpah.
"Indonesia punya banyak sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan untuk ketahanan energi masa depan," papar dia.
Namun sayangnya, potensi energi ini belum banyak dimanfaatkan. Data menunjukkan, dari total energi terbarukan sebanyak 443.208 megawatt (MW), pemanfaatannya baru 8.216 MW. Padahal pemerintah menargetkan bisa kontribusi energi terbarukan bisa mencapai 23 persen dalam bauran energi primer 2025.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Â
Advertisement
Faktor Penghambat
Terhambatnya pengembangan energi terbarukan di Tanah Air disebabkan sejumlah faktor yaitu harga yang tidak kompetitif karena adanya subsidi BBM dan listrik, masalah regulasi, kurangnya insentif, kendala lahan dan tata ruang.
Ketua Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI) Suryadharma menyoroti soal regulasi yang diterbitkan pemerintah yang berubah-ubah dengan cepat. Salah satunya Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang baru beberapa bulan ditetapkan sudah direvisi.
Sementara investor membutuhkan kepastian hukum yang lebih jelas dan tak berubah-ubah untuk memastikan uang yang diinvestasikannya bisa balik modal dan menguntungkan. Apalagi investasi awal untuk proyek energi terbarukan sangatlah besar.
"Investor itu kalau investasi kan long term (jangka panjang), bukan short term (jangka pendek). Tapi kalau di Indonesia kan sifat kebijakannya short term, ganti pemerintahan, ganti aturan," keluh dia.
Sementara itu, Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyoroti politik anggaran pemerintah yang hingga kini masih berpihak ke energi fosil. Dia menyarankan agar pemerintah mengalihkan subsidi energi fosil ke energi terbarukan yang dianggap sebagai energi berkelanjutan.
"Sudah tidak zamannya lagi energi fosil disubsidi dan dapat insentif. Alokasikan subsidi untuk energi terbarukan sebab fosil bukan sustainable energy," jelas dia.
Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Deendarlianto menambahkan, pemberian subsidi pada energi terbarukan diyakini bisa menggenjot pengembangan energi ramah lingkungan tersebut.
"Pada saat Uni Eropa menaikkan besaran subsidi energi terbarukan pada 2008, pemanfaatan energi terbarukan bisa meningkat 11 persen di 2017," terang dia.
Tak hanya itu, Â peningkatan dana riset dan pengembangan teknologi menjadi faktor penting untuk menggenjot energi terbarukan. Jika seluruh kendala itu bisa segera diatasi, Â niscaya menjadikan energi terbarukan sebagai primadona energi di masa depan bukan hanya impian. Â Â
Advertisement