Sukses

Pemerintah Diminta Hati-Hati Batasi Impor Bahan Baku Industri

Pembatasan impor dikhawatirkan ini akan mengganggu produksi industri.

Liputan6.com, Jakarta Pelaku industri meminta pemerintah berhati-hati dalam membatasi impor bahan baku industri, seperti garam, jagung, tembakau dan‎ beberapa bahan baku lainnya. Pembatasan tersebut dinilai akan berdampak pada kinerja industri dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Benny Wahyudi mengatakan, ‎saat ini impor bahan baku industri tidak dapat dihindari.‎ Terlebih bahan baku yang diimpor tidak mampu dipenuhi dari dalam negeri.

"Ketersediannya bahan baku sangat penting bagi keberlanjutan dan pertumbuhan industri," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (24/8/2017).

Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Hasan Aoni Aziz juga meminta pemerintah lebih hati-hati dalam mengeluarkan aturan soal impor bahan baku. Sebab jika tidak, pembatasan impor semacam ini akan mengganggu produksi industri.

“Seluruh regulasi yang mengatur soal industri harus mengedepankan soal reward bukan punish, regulasi harus menyesuaikan tingkah laku konsumen,” kata dia.

Sementara itu,‎ Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Bambang menyatakan, aturan soal importasi ini bertujuan untuk melindungi sektor pertanian. Namun jika ada komoditas yang belum mampu diproduksi di dalam negeri, maka impor mau tidak mau harus dilakukan.

“Apabila ada jenis yang belum mampu diproduksi, silahkan diimpor," tandas dia.

Diberitakan sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berwacana untuk membatasi impor tembakau. Hal ini langsung direspons oleh industri dan pengusaha yang bergelut di sektor tersebut. Pembatasan impor tembakau dinilai mengancam kelangsungan hidup ratusan pabrikan rokok kecil serta ratusan ribu buruh yang bekerja di sektor industri hasil tembakau (IHT).

Dalam beleid yang akan diterbitkan pada akhir Agustus 2017, arus impor beberapa varian tembakau, termasuk Virginia dan Oriental, dibatasi.

Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (FORMASI) Suhardjo mengatakan, kedua varian ini paling banyak digunakan untuk rokok jenis mild, namun tidak dapat dibudidayakan di dalam negeri.

Akibatnya, para pabrikan rokok kecil yang banyak memproduksi jenis rokok ini terancam kegiatan produksinya. "Kalau pembatasan ini dipaksakan, tentu banyak pabrikan yang jadi korban," kata Suhardjo.

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini: