Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, dengan adanya perubahan status PT Freeport Indonesia dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), maka negara akan mendapat storan yang lebih besar.
Sri Mulyani mengatakan, ‎berdasarkan sejarah setoran kewajiban Freeport ke negara baik dalam bentuk pajak, royalti, bea dan cukai, ketika berstatus IUPK akan lebih besar ketimbang berstatis KK.
"Total penerimaan negara akan lebih besar dari yang selama ini diperoeh basis KK,"‎ kata Sri Mulyani, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Sri Mulyani, penerimaan negara akan jauh lebih besar ketika Freeport berstatus IUPK tersebut, sesuai dengan ‎Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 169 huruf C. Hal tersebut menjadi salah satu poin yang usulan dalam negosiasi dengan Freeport.
"Kita mengusulkan penerimaan lebih besar dari KK, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 pasal 169 huruf C,"‎ ucap Sri Mulyani.
Pemerintah akan memberikan kepastian pungutan kewajiban ke Freeport. Hal ini akan dicantumkan dalam lampiran IUPK. Selain itu, pengaturan pungutan bagian negara dari kegiatan tambang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
"Untuk bentuknya, kami akan letakan dalam lampiran IUPK, huruf M dan O akan menyertakan kewajiban Freeport Indonesia," tutup Sri Mulyani.
Tonton Video Menarik Berikut Ini:
Tunduk
PT Freeport Indonesia akhirnya mengikuti keinginan pemerintah Indonesia. Perusahaan ini menyepakati empat poin negosiasi seiring perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebutkan, poin yang menjadi kesepakatan terkait pelepasan saham (divestasi) dengan total sebesar 51 persen kepada pihak nasional. Hal ini sesuai dengan keinginan pemerintah. Untuk detail mekanisme pelepasan saham dan waktunya, akan dibahas lebih lanjut dalam pekan ini.
"Pertama itu mandat Bapak Presiden bisa diterima Freeport, divestasi yang dilakukan Freeport 51 persen total," kata Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Poin kedua, kata Jonan, berkaitan dengan pembangunan fasilitas pengelolaan dan pemurnian mineral (smelter) harus dilakukan dalam lima tahun, sejak IUPK terbit. Targetnya pembangunan smelter rampung pada Januari 2022.
Menurut Jonan, Freeport juga telah sepakat memberikan Indonesia bagian lebih besar ketika sudah menyandang status IUPK, dibanding‎ saat bersatatus KK. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Selain itu, kedua belah pihak menyetujui masa operasi Freeport diperpanjang 2x10 tahun, usai habisnya masa kontrak ‎pada 2021. Dengan begitu, Freeport bisa mengajukan perpajangan masa operasi untuk masa pertama sampai 2031. Itu jika memenuhi persyaratan diperpanjang kembali sampai 2041.
‎
"Ada perpanjangan masa operasi masimum 2x10 tahun sampai 2031 dan 2041, perpanjangan pertama bisa langsung diajukan," tutup Jonan.
Negosiasi pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia berlangsung sejak April 2017. Hal ini dilatarbelakangi penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Tambang Mineral dan Batu Bara.
Payung hukum tersebut menyebutkan, perusahaan tambang mineral yang ingin tetap mengekspor mineral olahan pasca-11 Januari 2017 harus melakukan beberapa hal. Di antaranya mengubah status Kontrak Karya menjadi IUPK, membangun smelter, divestasi 51 persen ke pihak nasional.
Â
Advertisement