Sukses

JK: Penerimaan Pajak dari Freeport Tak Boleh Rendah

Freeport akhirnya setuju untuk melepas saham (divestasi) dengan total sebesar 51 persen kepada pihak nasional.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) berharap, dengan kesepakatan PT Freeport Indonesia untuk melepas saham (divestasi) sebesar 51 persen kepada pemerintah bisa menaikkan penerimaan negara dalam bentuk pajak. Sejauh ini, pemerintah belum menentukan skema perpajakan yang akan dikenakan PT Freeport Indonesia.

"Ya tidak lebih rendah daripada sekarang. Pasti lebih baik," kata JK di kantornya, Jakarta, Selasa (29/8/2017).

Walaupun masih belum menentukan skema pajak, dia yakin akan ada titik temu nilai pajak yang harus dibayarkan antara Indonesia kepada Freeport. "Memang beberapa prinsip-prinsip pokok yang diberikan ke Freeport, saya kira sudah hampir semua rampunglah," tegas JK.

Diketahui, Freeport Indonesia akhirnya setuju untuk melepas saham (divestasi) dengan total sebesar 51 persen kepada pihak nasional.

Hal ini merupakan satu dari empat poin negosiasi yang disepakati Freeport seiring perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kesepakatan tersebut sesuai mandat dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Poin kedua adalah pembangunan fasilitas pengelolaan dan pemurnian mineral (smelter). Freeport Harus membangun smelter dalam lima tahun, sejak IUPK terbit.

Poin ketiga, Freeport telah sepakat memberikan Indonesia bagian lebih besar ketika sudah menyandang status IUPK, dibanding‎ saat bersatatus KK. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Poin keempat, Freport dan pemerintah menyetujui masa operasi Freeport diperpanjang 2x10 tahun, usai habisnya masa kontrak ‎pada 2021. Dengan begitu, Freeport bisa mengajukan perpajangan masa operasi untuk masa pertama sampai 2031. Itu jika memenuhi persyaratan diperpanjang kembali sampai 2041.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Proses negosiasi

Negosiasi ini bermula saat Kementerian ESDM menerbitkan aturan baru yaitu Peraturan Menteri No 1 tahun 2017 soal mineral logam. Aturan tersebut tetap berpegang teguh pada aturan sebelumnya, yaitu UU Minerba.

Melalui aturan tersebut, perusahaan tambang boleh mengubah statusnya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) jika belum membangun smelter sebagai syarat hilirisasi, tapi tetap ingin melakukan ekspor konsentrat.

Saat merilis aturan tersebut, Jonan mengatakan, pemegang Kontrak Karya dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan tidak wajib mengubah perjanjian menjadi IUPK, sepanjang pemegang Kontrak Karya tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba pasal 169 dan pasal 170) diundangkan pada 2009.

Freeport menolak perubahan KK menjadi IUPK. Adkerson mengatakan, Freeport berkomitmen untuk menaati kebijakan yang telah dibuat Pemerintah Indonesia. Namun memang, Freeport belum menerima ketentuan perubahan KK menjadi IUPK, yang menjadi syarat agar Freeport bisa mengekspor mineral olahan (konsentrat).

"Freeport berkomitmen untuk mengikuti regulasi di Indonesia. Kami percaya selama ini sudah kami jalankan. Tapi untuk KK memang pemerintah dan Freeport belum mencapai kesepakatan di mana KK dipakai untuk melanjutkan operasi," kata Adkerson saat itu.

Berdasarkan rekomendasi dari pengacara internasional, Kontrak Karya tetap berlaku bagi Freeport, dan kontrak yang telah dijalani selam 50 tahun tersebut tidak bisa diputus secara sepihak.

Jonan meminta Freeport tidak alergi dengan divestasi hingga 51 persen sesuai tercantum dalam KK pertama antara Freeport dan Pemerintah Indonesia dan juga ditegaskan dalam PP Nomor 1 tahun 2017.

"Divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan Bapak Presiden agar Freeport dapat bermitra dengan pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta Papua khususnya juga ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia," ujarnya.

Salah satu bentuk protes Freeport terhadap aturan tersebut adalah penghentian aktivitas pada pertengahan Februari lalu. Selama ini Freeport mengirim produksi 40 persen konsentrat ke smelter di Gresik dan mengekspor 60 persen produksi. Namun, sejak adanya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, Freeport tidak bisa lagi mengekspor konsentrat karena statusnya masih Kontrak Karya.

Bahkan, Freeport sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan. Kepala Dinas ESDM Provinsi Papua Barat Bangun S Manurung‎ mengatakan, terdapat 2.150 pekerja kontrak yang terkena dampak pengurangan kegiatan operasi Freeport, terdiri dari 2.075 pekerja nasional dan 75 tenaga kerja asing.

Dari 2.150 pekerja yang terkena dampak, sebanyak 2.066‎ pekerja kontraktor tersebut mengalami PHK, 50 pekerja dirumahkan dan 34 pekerja dipindahkan untuk mengerjakan proyek lain, di luar kegiatan tambang Freeport.

Bentuk lain protes Freeport adalah mengancam untuk membawa sengketa KK usai penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 dengan pemerintah Indonesia ke arbitrase.

Negosiasi kontrak karya Freeport ini sebenarnya sudah terjadi sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun baru kali ini negosiasi bisa menghasilkan keputusan. Freeport bersedia untuk melempas 51 persen saham sesuai dengan Undang-Undang Minerba dan aturan bawahannya.