Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan revisi peraturan skema bagi hasil produksi minyak dan gas (migas), dengan mekanisme gross split.
Seperti yang dikutip Liputan6.com, di Jakarta, Sabtu (2/9/2017). Revisi aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 52 Tahun 2017, atas perubahan dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang kotrak bagi hasil gross split.
Pertimbangan peraturan tersebut direvisi adalah untuk meningkatkan investasi di bidang kegiatan usaha migas. Oleh karena ‎itu, perlu diatur kembali ketentuan-ketentuan pokok yang diberlakukan dalam kontrak bagi hasil gross split.
Advertisement
Baca Juga
Adapun perubahan pembagian bagi hasil meliputi poin, status lapangan dengan parameter rencana kerja anggaran (Plan Of Development/POD), lokasi lapangan dengan parameter darat dan laut.
Kedalaman resevoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, jenis reservoir dengan parameter konvensional dan non-konvensional, kandungan karbon diogsida (CO2).
Kandungan H24n berat jenis minyak, tingkat komponen dalam ‎negeri, tahapan produksi, harga minyak bumi, harga gas bumi, jumlah kumulatif produksi migas.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Selanjutnya
Sebelumnya, Wakil Menteri ESM Arcandra Tahar mengatakan, penurunan harga minyak dunia membuat investasi migas secara global lesu. Pada 2016, nilai investasi global di sektor migas turun sekitar 26 persen. Ini terjadi akibat banyak perusahaan migas yang menahan diri untuk melakukan investasinya.
"Pada 2016, investasi migas di Indonesia juga turun sekitar 27 persen, sejalan dengan tren investasi migas global," ucap Arcandra.
Melalui revisi terhadap Permen 8 ini, diharapkan dapat menggairahkan para Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) untuk berinvestasi pada kegiatan pencarian migas. Hal ini penting mengingat cadangan migas, khususnya minyak di Indonesia hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional selama 12 tahun ke depan.
"Ada beberapa poin yang kita masukkan dalam revisi dalam Permen ini. Misalnya progresif harga migas, kumulatif produksi, tahapan produksi, impuritas H2S dan ketersediaan infrastruktur agar investasi mereka optimal. Prinsipnya, pemerintah mendorong terciptanya kepastian usaha bagi para KKS di Indonesia," papar Arcandra.
Arcandra menilai, skema gross split akan memberikan keuntungan yang optimal, baik kepada pemerintah sebagai pemilik aset, maupun KKKS sebagai pengelola aset berupa blok-blok migas. Dengan skema gross split para kontraktor juga akan semakin efisien dalam mengembangkan lapangan migasnya, sehingga keuntungan mereka dapat lebih optimal.
"Selama ini dengan sistem cost recovery semua biaya yang dikeluarkan kontraktor ditanggung pemerintah, ini bisa menimbulkan pemborosan biaya. Tapi dengan gross split tentunya kontraktor akan lebih berhati-hati mengeluarkan biaya, karena itu uang mereka sendiri," ujarnya.
Sesuai aturan mengenai gross split, bagi hasil untuk minyak bumi untuk negara adalah 57 persen dan 43 persen kepada kontraktor. Sementara bagi hasil gas bumi negara 52 persen dan kontraktor 48 persen.
Namun, dalam perkembangannya, kontrak bagi hasil tersebut dapat berubah dengan mengacu pada beberapa komponen variabel dan progresif, yaitu status lapangan, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, jenis reservoir, kandungan CO2, Kandungan H2S, berat jenis minyak bumi, TKDN, tahapan produksi, progresif harga migas dan kumulatif produksi.
"Gross Split lebih memberikan kepastian usaha dan pemerintah juga mendapatkan bagi hasil yang optimal. Inilah yang membuat kami optimis revisi Permen 8 akan menjadi obat bagi percepatan investasi migas di Indonesia. Doakan,"‎ ujar Arcandra.
Advertisement