Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat masih ada 90 persen kawasan kumuh di Ind‎onesia yang belum ditangani.
Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Rina Agustin mengatakan, terdapat 38.431 hektare kawasan kumuh di Indonesia. Untuk menangani kawasan kumuh tersebut, instansinya membuat gerakan 100-0-100, yaitu 100 persen akses air minum aman, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak.
"Pada tahun 2015 mencanangkan gerakan 100-0-100," kata Rina, saat menghadiri rapat Koordinasi Percepatan Penanganan Permukiman Kumuh di 30 Kabupaten Kota Prioritas‎, di Kantor Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
Rina mengungkapkan, sejak 2015 gerakan tersebut dijalankan, baru 10 persennya teratasi atau 3.843 hektare dari ‎38.431 kawasan kumuh yang ada di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan penanganan ‎kawasan kumuh masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
"Kawasan kumuhnya 10 persen, jadi PR-nya masih banyak," ujar dia.
Rina menuturkan, salah satu kendala yang dihadapi ‎dalam menangani permukiman kumuh adalah masyarakat yang sulit diajak kerja sama. Jadi, sosialisasi yang lebih intens terus dilakukan.
‎"Terutama masyarakatnya ya, tapi ada kota-kota yang memang komitmennya tinggi jadi mereka ingin sekali terjadi perubahan," kata dia.
Meski begitu, Rina tetap optimistis membenahi kawasan kumuh yang ada agar target pada 2019 tercapai. Berbagai upaya pecepatan pun dilakukan. Selain itu, juga dikeluarkan terobosan berupa inovasi dengan mengajak semua pihak ikut mengatasinya.
"Mengajak semua pihak jadi tidak hanya pemerintah untuk bisa mengeroyok pelaksanaan penataan kawasan kumuh, air, maupun sanitasi," ujar Rina.
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Kementerian PUPR Fokus Buat Kota Layak Huni
Urbanisasi menjadi pemicu utama meningkatnya jumlah penduduk miskin perkotaan, yang berujung pada terciptanya permukiman kumuh. Hal ini membuat Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) fokus membuat kota layak huni.
Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Rina Agustin mengatakan,‎ urbanisasi yang pesat dan pertumbuhan penduduk alami menyebabkan meningkatnya kepadatan permukiman dan kebutuhan pelayanan dasar, yang berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan pembangunan permukiman, dan sistem pengelolaan permukiman.
Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin di perkotaan Indonesia menjadi 10,49 juta orang pada 2017, terdapatnya kawasan kumuh seluas 38.431 hektare area, backlog perumahan mencapai 7,6 juta rumah, dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk perkotaan akan mencapai 60 persen.
‎"Peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan infrastruktur permukiman di perkotaan mengalami beberapa tantangan, misalnya urbanisasi," kata Rina, saat menghadiri rapat Koordinasi Percepatan Penanganan Permukiman Kumuh di 30 Kabupaten Kota Prioritas‎, di Kantor Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Rina mengatakan, ketidaksiapan kota-kota dalam menghadapi perkembangan ini, akan menyebabkan semakin pesatnya pertumbuhan permukiman kumuh dan terbatasnya pelayanan dasar perkotaan. ‎
Karena itu, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia dan menyejahterakan masyarakat, instansinya akan mewujudkan kota layak huni.
‎Guna menjawab ketersediaan pelayanan dasar, Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya telah mencanangkan gerakan 100-0-100, yaitu 100 persen akses air minum aman, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak.
Perwujudan gerakan 100-0-100 dilakukan dengan pendekatan melalui membentuk sistem yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang, memberikan fasilitasi kepada pemerintah kabupaten kota, serta pembangunan dan pengembangan permukiman dilakukan dengan memberdayakan komunitas dan para pemangku kepentingan.
"Penangangan permukiman kumuh merupakan penanganan yang multisektor, melibatkan banyak pihak bersifat klaboratif, membutuhan dana yang cukup besar dan memerlukan keberlanjutan dalam penanganannya," tutur Rina.
Advertisement