Sukses

Ikut Sumbang Pajak, Pembatasan Motor di Sudirman Tak Tepat

Pengguna sepeda motor juga sama-sama membayar pajak seperti halnya pengguna mobil.

Liputan6.com, Jakarta Rencana pembatasan sepeda motor melintas di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, terus tuai penolakan. Bahkan muncul petisi yang berisi penolakan dan sudah mendapatkan dukungan ribuan orang.

Terkait ini, pemerintah diminta membuktikan secara kajian bahwa pembatasan sepeda motor itu bisa mengurai kemacetan. Pemerintah pun harus mendengarkan suara masyarakat.

“Fakta itu mesti didengar oleh Pemerintah Jakarta, karena itu menyangkut persoalan sosiologi masyarakat,” kata Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret Drajad Tri Kartono di Jakarta, Rabu (5/9/2017).

Kemunculan penolakan berupa petisi disebut karena warga merasa rencana pembatasan sepeda motor itu mengusik rasa nyaman warga. Selain itu faktor keterjangkauan akses juga pasti menjadi perhatian para pendukung petisi tersebut.

Penolakan juga karena peraturan pemerintah dianggap diskriminatif terhadap sepeda motor. Drajad menilai anggapan tersebut benar dan mesti didengar pemerintah. Sebab, pengguna sepeda motor juga sama-sama membayar pajak seperti halnya pengguna mobil. “Jadi ini persoalannya terkait livelyhood atau kenyamanan tinggal bagi masyarakat, perlu didengar oleh pemerintah,” ujar dia.

Sebab itu pemerintah diminta membuktikan secara kajian jika pembatasan sepeda motor bisa mengurai kemacetan. Jika pemerintah berhasil menjamin pembatasan sepeda motor mampu mengurai kemacetan, maka aturan tersebut bisa diterapkan.

Adapun petisi yang dimulai sejak 23 Agustus 2017 oleh warga bernama Leopold Sudarsono itu meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membatalkan rencana pembatasan sepeda motor di Jalan Sudirman tersebut.

Petisi itu berargumen Kebijakan ini tidak berdasarkan kajian akademis yang dibagikan kepada publik. Setiap hari faktanya pada jalur cepat Sudirman mengarah ke HI maupun jalan Tol yang tak bisa dilalui motor pun kondisinya macet parah.

Petisi itu juga meminta Pemprov DKI membuat aturan serupa bagi pengguna mobil dengan cara penerapan aturan pembatasan bergantian tiap hari. Hal itu dianggap lebih efektif membuktikan mobil atau motor yang menjadi penyebab kemacetan di Jakarta.

“Mengapa tidak diujicoba saja: pada tanggal ganjil mobil dilarang dan tanggal genap motor yang dilarang. Bisa dilihat pada tanggal berapa jalan lebih macet dan pengguna angkutan umum meningkat?” demikian bunyi petisi tersebut.

2 dari 2 halaman

Bukan Kebijakan Diskriminasi

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menilai larangan sepeda motor melintas di Jalan Jenderal Sudirman per 12 September 2017 bukan sebagai bentuk diskriminasi bagi pengguna kendaraan roda dua.
 
Pemerintah akan menjalankannya secara bertahap seiring membenahi transportasi massal. 
 
"Tidak diskriminasi. Kan mobil juga sudah dilakukan dengan aturan ganjil genap dan nanti juga akan kita lakukan suatu upaya membatasi mobil-mobil dengan cc lebih kecil, ini sedang didiskusikan," tegas Budi Karya di kantornya, Jakarta, Minggu (3/9/2017). 

 Budi Karya beralasan, larangan motor melintas di Jalan Sudirman  lebih karena untuk menekan jumlah pertumbuhan motor yang membludak. Sebagai contoh, satu rumah tangga terdiri dari empat orang bisa memiliki empat unit motor. 
 
"Tidak bermaksud mendiskriminasikan, karena memang pertumbuhannya banyak. Satu rumah tangga punya empat motor, ini kan jadi catatan juga buat kita. Kita tidak melarang, tapi mengimbau gunakanlah secara efisien, misalnya pergi satu motor untuk dua orang, jangan sendirian. Mobil kan juga begitu, mesti ada tiga orang dan kita lagi cari cara," jelasnya. 
 
Saat ini, Budi Karya mengaku tengah berdiskusi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Polri, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Organisasi Angkutan Darat (Organda) agar menerapkan kebijakan tersebut secara bertahap.   
 
"Kita lagi diskusi dengan teman-teman Kemenhub, Pemprov DKI, Polri, kita lakukan secara bertahap sehingga tidak mengecewakan pengguna motor. Misalnya satu jalur dulu, di mana yang paling krusial dilakukan. Jadi keputusan objektif, tidak didasari Kemenhub sepihak," tuturnya. 
 
Sebagai konsekuensi dari aturan ini, pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, dan Organda harus membenahi dan menambah jumlah transportasi publik. Dengan demikian, dapat menarik orang untuk menggunakan angkutan umum. 
 
"Ya konsekuensinya harus ada angkutan umum yang lebih baik, supaya mereka beralih. Seperti dari Bekasi ke Jakarta, kita intensifkan satu angkutan massal yang bisa mengangkut penumpang, pakai jalur khusus dan angkutan tiga sumbu pagi hari tidak dizinkan operasi sehingga lalu lintas lebih lancar," jelas Budi Karya.
 

Tonton video menarik berikut ini: