Sukses

Sri Mulyani Cari Utang Rp 399 Triliun, Dari Mana Sumbernya?

Menkeu Sri Mulyani berencana cari utang Rp 399,2 triliun di RAPBN 2018.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati berencana mencari utang senilai Rp 399,2 triliun di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018.

Utang tersebut akan berasal dari penerbitan surat utang dan pinjaman masing-masing senilai Rp 414,7 triliun dan negatif Rp 15,5 triliun.

Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah memproyeksikan defisit fiskal Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah ini lebih rendah dibanding outlook APBN Perubahan 2017 yang dipatok Rp 362,9 triliun atau 2,67 persen terhadap PDB.


"Defisit 2,19 persen di 2018 relatif lebih kecil dibanding 2 tahun terakhir, tapi tetap ekspansif untuk menjaga momentum. Kami ingin menjaga rasio utang di bawah 30 persen dari PDB dan menurunkan defisit keseimbangan primer," jelas dia di Gedung DPR, Jakarta, Senin (11/9/2017).

Lebih jauh kata Sri Mulyani, defisit keseimbangan primer di RAPBN 2018 turun drastis menjadi Rp 78,4 triliun dari outlook tahun ini sebesar Rp 144,3 triliun di. Itu artinya, hampir Rp 100 triliun merosot hanya dalam satu tahun anggaran untuk menyeimbangkan APBN.

"Untuk menutup defisit tahun depan, dibutuhkan pembiayaan utang Rp 399,2 triliun atau turun dari tahun ini. Pembiayaan investasi negatif Rp 65,7 triliun atau lebih tinggi dari tahun lalu, pembiayaan pinjaman negatif Rp 6,7 triliun atau turun yang berarti kita tidak mengambil pinjaman baru, tapi melunasinya, kewajiban penjaminan negatif Rp 1,1 triliun, serta pembiayaan lainnya Rp 0,2 triliun," jelas dia.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan mengungkapkan, pembiayaan yang berasal dari utang sebesar Ro 399,2 triliun akan diarahkan pada pemanfaatan yang produktif, efisien, dan hati-hati.

"Strateginya rasio utang dijaga di bawah 30 persen, pendalaman pasar keuangan, defisit keseimbangan primer turun, dan fokus pada sumber pendanaan luar negeri," ujar Robert.

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

 

 

2 dari 2 halaman

Selanjutnya: Sumber Utang Utama

Robert mengungkapkan, sumber utama utang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang direncanakan senilai Rp 414,7 triliun (netto). Sementara pinjaman (netto) defisit Rp 15,5 triliun, sehingga penerbitan SBN lebih tinggi dari pembiayaan utang.

"Penerbitan SBN ini didominasi mata uang rupiah, valuta asing seperti Yen Jepang, Dolar AS, dan Euro sebagai pelengkap. Tenor utang dominan jangka menengah panjang, dengan meningkatkan size SBN jangka pendek untuk efisiensi biaya dan mendukung likuiditas pasar. Kuponnya mayoritas tetap (fix)," tutur Robert.

Robert menambahkan, pemerintah ancang-ancang akan menerbitkan surat utang denominasi rupiah dengan porsi 70-80 persen dari total penerbitan Rp 414,7 triliun di 2018. Menggunakan metode lelang 22-24 kali pada tahun depan.

Penerbitan surat utang syariah atau sukuk, lelang 22-24 kali. Sementara non lelang untuk SBN ritel, Obligasi Ritel Indonesia (ORI), sukuk ritel, privat placement seperti dana haji. Penerbitan SBN berupa Surat Utang Negara (SUN) mengambil porsi 70-75 persen dan sukuk 25-30 persen.

"Sedangkan penerbitan utang valas porsinya 20-30 persen dalam 3 mata uang, dolar AS, Yen Jepang, Euro dengan melihat kondisi pasar dalam rangka menghindari crowding out di pasar keuangan di dalam negeri," kata Robert.

Sumber utang lainnya, Robert mengakui berasal dari pinjaman dengan negatif Rp 15,5 triliun di 2018. Itu artinya, pemerintah lebih banyak membayar pokok pinjaman daripada mengambil pinjaman baru.

"Asal usul negatif Rp 15,5 triliun berasal dari pinjaman dalam negeri netto Rp 3,1 triliun dan pinjaman luar negeri negatif Rp 18,6 triliun. Untuk pinjaman luar negeri negatif Rp 18,6 triliun artinya penarikan Rp 51,5 triliun dan pembayaran cicilan pokoknya Rp 70,1 triliun," ujar dia.

Adapun kebijakan pembiayaan investasi negatif Rp 65,7 triliun, kata Robert, untuk mendukung pembangunan infrastruktur, akses pembiayaan ultra mikro, akses pendidikan tinggi dan riset, akses pendanaan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), dan kewajiban pembiayaan internasional.

"Rinciannya Rp 65,7 triliun, untuk PMN PT KAI Rp 3,6 triliun, BLU Kehutanan Rp 0,5 triliun, dana pengembangan pendidikan nasional Rp 15 triliun, PMN Tapera Rp 2,5 triliun, dana bantuan internasional Rp 1 triliun, BLU LMAN Rp 35,4 triliun, BLU Perikanan Rp 0,9 triliun, BLU Perumahan Rp 2,2 triliun, investasi lembaga internasional Rp 2,1 triliun, dan BLU PIP Rp 2,5 triliun," kata dia.